Wanaloka.com – Per 23 Juli 2022, Direktur Jenderal World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia, Tedros Adhanom Ghebreyesus telah menetapkan cacar monyet (monkeypox) sebagai darurat kesehatan global (Public Health Emergency of International Concern) karena penyebarannya makin meluas.
Penyakit ini pertama kali mewabah dari negara non endemis, Inggris pada 6 Mei 2022. Kemudian penyebaran terus meluas hingga di 89 negara berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI. Spanyol sempat menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak disusul Amerika Serikat dan Perancis.
Kasus pertama di Indonesia terkonfirmasi positif pada pasien laki-laki tanggal 19 Agustus 2022. Sebelumnya, sembilan kasus diduga cacar monyet sempat terdeteksi pada Juni 2022. Namun hasil PCR menunjukkan negatif.
Baca Juga: Cacar Monyet Masuk ke Indonesia, Laboratorium PCR di Bogor dan Jakarta
Apa Cacar Monyet Itu?
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Prof. dokter hewan Wayan Tunas Artama menjelaskan, cacar monyet adalah penyakit yang disebabkan virus monkeypox, yaitu virus DNA untai-ganda beramplop dari genus Orthopoxvirus dan famili Poxviridae. Virus ini memiliki dua clade genetik yang berbeda, yaitu clade Afrika Barat dan clade Congo Basin (Afrika Tengah). Data WHO 2022 menyebutkan tingkat kematian kasus clade Congo Basin dilaporkan lebih tinggi dibandingkan clade Afrika Barat, yaitu secara berurutan 10 persen dan 1 persen.
Cacar monyet merupakan penyakit endemik di Afrika Barat dan Tengah, seperti Kamerun, Benin, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Gabon, Ghana (hanya diidentifikasi pada hewan), Pantai Gading, Liberia, Nigeria, Republik Kongo, dan Sierra Leone.
Virus ini pertama kali ditemukan pada monyet tahun 1958. Kasus pertama pada manusia (anak-anak) terjadi pada 1970.
Baca Juga: Hati-hati, Penyakit Jantung Mengintai Generasi Jompo
Muncul Ruam, Segera Test PCR
Wayan memaparkan, gejala penyakit pada manusia sangat mirip dengan penyakit cacar, yaitu demam lebih dari 38,5 derajat Celcius, lemas, menggigil dengan atau tanpa keringat, nyeri tenggorokan dan batuk, pegal-pegal, pembengkakan kelenjar limfa atau getah bening (limfadenopati), dan sakit kepala. Gejala-gejala tersebut akan diikuti dengan kemunculan ruam makular-papular berbatas jelas, vesikular, pustular, hingga lesi berkeropeng.
Lesi bertahan sekitar 1 sampai 3 hari pada setiap tahap dan berprogres secara bersamaan. Area kemunculan lesi adalah wajah (98 persen), telapak kaki dan tangan (95 persen), membrane mukosa mulut (70 persen), genital (28 persen), dan konjungtiva (20 persen).
Masa inkubasi cacar monyet antara 6 sampai 16 hari dan ada pula 5 sampai 21 hari. Fase awal gejala terjadi pada 1 sampai 3 hari, yaitu demam tinggi, sakit kepala hebat, limfadenopati atau pembengkakan kelenjar getah bening, nyeri punggung, nyeri otot, dan lemas.
Baca Juga: Kelebihan Gula dan Garam Jadi Biang Penyakit, Ini Tips Mengontrolnya
“Tapi baru diduga kuat sebagai penyakit cacar monyet setelah ada bercak merah,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Bercak atau ruam merah inilah yang harus diambil tindakan cepat dengan mengambil cairannya untuk pemeriksaan PCR di laboratorium dan diagnosa.
Pada fase erupsi (fase paling infeksius) terjadi ruam atau lesi pada kulit mulai dari wajah hingga menyebar ke bagian tubuh lain. Berawal dengan bintik merah seperti cacar makulopapula, lepuh berisi cairan bening (blister), lepuh berisi nanah (pustule), kemudian mengeras atau keropeng lalu rontok.
“Biasanya diperlukan waktu hingga 3 minggu sampai periode lesi tersebut menghilang dan rontok,” imbuh Juru Bicara Kemenkes dokter spesialis paru, Mohammad Syahril.
Baca Juga: Kata Ahli Kesehatan dan Hukum Islam Unair Soal Legalisasi Ganja Medis
Walaupun gejalanya cenderung ringan, bahkan sembuh sendiri, cacar monyet bisa menjadi penyakit derajat berat dan berpotensi menyebabkan komplikasi penyakit seperti infeksi sekunder, bronkopneumonia, sepsis, dan ensefalitis. Bahkan infeksi kornea bisa menyebabkan kebutaan apabila tidak segera mendapatkan penanganan medis.
“Apabila mengalami gejala demam dan ruam, harap memeriksakan diri ke fasilitas layanan kesehatan terdekat,” kata Syahril.
Selain itu, Ahli primata IPB University, dokter hewan Diah Iskandriati mengungkapkan, cacar monyet dapat menyebabkan penyakit parah atau kematian. Tingkat kematian hingga 11 persen, paling sering pada kelompok usia yang lebih muda.
Baca Juga: 3 Jenis Makanan Penurun Kolesterol Usai Iduladha
“Antibodi terhadap smallpox virus memberi proteksi terhadap infeksi monkeypox virus,” ujar Diah.
Penularan dari Hewan ke Manusia, Antar Manusia, Antar Hewan
Penyakit monkeypox merupakan penyakit zoonotik karena bisa menular dari hewan ke manusia. Penularan pun bisa melalui kontak erat dengan manusia yang terinfeksi. Juga bisa tertular dari benda yang terkontaminasi virus. Media penularan melalui darah, air liur, cairan tubuh, lesi kulit atau cairan pada cacar, kemudian droplet pernapasan.
“Secara umum lesi lebih jelas pada anggota gerak dan wajah dibandingkan pada badan. Manifestasi pada area genital dapat menjadi dilema diagnosis pada populasi berpenyakit menular seksual (PMS),” ungkap Wayan.
Meski demikian, Pakar Biostatistika Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair), Windhu Purnomo menambahkan bahwa cacar monyet bukan penyakit LGBTQ+. Sekalipun penelitian menunjukkan bahwa penyebaran utama cacar monyet di wilayah Eropa terjadi di kalangan homoseksual, harus dipahami bahwa penyebarannya tidak ada berhubungan dengan orientasi seksual.
Baca Juga: Pandemi Belum Berakhir, Ini yang Boleh Melepas dan yang Harus Pakai Masker
“Jadi pemberitaan seperti itu (cacar monyet menular akibat hubungan seksual pasangan sejenis) harus dibetulkan, karena nanti akan menimbulkan stigma dan diskriminasi. Penyebaran cacar monyet ini melalui sentuhan, ya siapa saja bisa kena. Entah itu orientasinya homoseksual atau heteroseksual,” tegas Windhu.
Sedangkan penularan melalui hewan terjadi apabila manusia melakukan kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, seperti saat menangkap, memproses, dan mengonsumsi daging satwa liar. Penularan bisa melalui kontak langsung dengan darah, cairan tubuh, atau lesi dari hewan terinfeksi, seperti mamalia kecil, termasuk rodensia (tikus, tupai) dan primata non-manusia (monyet, kera). Penularan secara kontak langsung juga dapat terjadi antar hewan.
“Penularan cacar monyet dari manusia ke manusia terutama melalui droplet pernafasan yang secara umum memerlukan kontak erat yang cukup lama,” kata Wayan.
Baca Juga: Dwi Prasetyo: Mengapa Hepatitis Akut Masih Misterius?
Pencegahan dengan Hidup Sehat dan Karantina Hewan Tertular
WHO menetapkan cacar monyet menjadi penyakit yang memerlukan perhatian masyarakat global. Mengingat sebagian besar kasus dilaporkan dari pasien yang memiliki riwayat perjalanan ke negara-negara endemis.
“Sebagian kasus berhubungan keikutsertaan pada pertemuan besar yang dapat meningkatkan risiko kontak, baik melalui lesi, cairan tubuh, droplet, dan benda yang terkontaminasi,” ungkap Syahril.
Upaya pencegahan dari WHO meliputi menghindari kontak langsung dengan orang bergejala, menerapkan hubungan seksual yang aman, menjaga kebersihan tangan menggunakan air dan sabun atau hand sanitizer, menggunakan masker, serta mempraktikkan etika batuk dan bersin yang benar.
Discussion about this post