“Ini kan sangat mengada-ada. Kalau anak-anak bilang, enggak gitu-gitu amat kali,” kata dia.
Titiek mendesak pemerintah terbuka terkait siapa saja pihak di balik pembangunan pagar itu. Menurut dia, tak mungkin nelayan yang membangun pagar atau pagar itu berdiri sendiri.
Baca juga: LBH Padang dan Trend Asia Berharap Hakim Cabut Izin PLTU Ombilin
“Kami dari Komisi IV mendesak pemerintah untuk segera mengetahui dan mengumumkan itu sebenarnya pagarnya punya siapa, siapa yang bikin, siapa yang suruh, siapa yang membiayai,” kata dia.
Menurut Titiek alasan bahwa pagar dibangun para nelayan dengan dana sangat besar sangat mengada-ada.
Komisi IV soroti pagar laut di Bekasi
Selain itu, menurut Anggota Komisi IV DPR RI, Irham Jafar Lan Putra, penting juga menyelesaikan polemik pembangunan pagar laut di Kabupaten Bekasi yang menjadi perhatian publik. Dalam kunjungan kerja Tim Komisi IV DPR RI, Irham menyampaikan kegiatan ini bertujuan menjalankan fungsi pengawasan terhadap program pemerintah sekaligus menyerap aspirasi masyarakat.
“Kunjungan ini kami lakukan untuk melihat langsung kondisi pagar laut yang viral, memahami regulasi terkait, serta mencari solusi terbaik melalui aspirasi nelayan, petambak, pemerintah, dan pihak-pihak terkait,” ujar Irham, Rabu, 22 Januari 2025.
Baca juga: Mengenal Virus HMPV, Mengapa Pencegahan Lewat Gaya Hidup Ala Pandemi Covid-19?
Berdasar informasi yang diterima, pagar laut sepanjang 3,3 km tersebut dibangun atas kerja sama Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Barat dan PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara (TRPN) dalam rangka pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pal Jaya. Namun, aktivitas PT TRPN dikabarkan mengganggu pasokan listrik dari PLTGU Muara Tawar yang berperan strategis dalam menyuplai listrik untuk Kompleks Istana Negara serta wilayah Jawa, Madura, dan Bali.
Irham menyoroti pembangunan pagar laut ini harus sesuai aturan hukum, termasuk ketentuan UNCLOS 1982, yang melarang pemberian sertifikasi hak atas laut. Ia juga mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang mengubah pendekatan hukum laut dari rezim hak menjadi rezim perizinan.
Pemanfaatan ruang laut secara menetap wajib memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana diatur dalam Pasal 18 dan 19 UU Cipta Kerja.
“Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi pidana, denda, atau sanksi administratif,” tegas dia.
Baca juga: Pakar UGM Desak Proyek Lahan 20 Juta Ha Ditinjau Ulang, Manfaatkan Lahan Tak Produktif
Irham mengapresiasi langkah KKP yang telah menyegel lokasi tersebut sebagai bagian dari upaya penegakan hukum. Namun, ia mengkritik lambannya tindakan yang baru dilakukan setelah kasus ini viral di media.
Komisi IV DPR RI mendesak Pemerintah Pusat dan Daerah segera melakukan investigasi mendalam terkait legalitas izin, studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), serta dokumen Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
“Publik perlu dilibatkan dalam proses ini melalui diskusi terbuka dan kajian transparan. Dugaan bahwa pengurugan lahan dilakukan sebelum izin selesai harus dijawab dengan pendekatan kehati-hatian,” imbuh dia.
Baca juga: Banjir Kepung 11 Kecamatan di Lampung
Selain itu, Irham menyoroti dampak ekologis dari perubahan bentang alam yang berpotensi memengaruhi pola sedimentasi dan keseimbangan ekosistem pesisir. Ia mendesak pemerintah segera mengambil langkah serius untuk mengatasi dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Sebagai langkah mitigasi, Komisi IV mendorong Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan untuk melakukan penanaman mangrove di sekitar dermaga.
“Mangrove sangat penting untuk melindungi pesisir dari abrasi serta menjadi habitat pemijahan ikan alami,” jelas dia.
Irham menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara tuntas dan transparan demi menjaga kepercayaan publik serta memastikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. [WLC02]
Sumber: Kementerian ATR/BPN, DPR
Discussion about this post