Wanaloka.com – Akhirnya Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengambil putusan menerima tawaran Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari pemerintah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Putusan itu disampaikan secara resmi usai acara Konsolidasi Nasional Muhammadiyah yang juga diikuti Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) se-Indonesia di Universitas Aisyiyah (Unisa), Ahad, 28 Juli 2024.
Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, putusan diambil usai Muhammadiyah mengkaji selama lebih dari dua bulan untuk menentukan sikap. Sebuah proses yang menurut dia biasa dalam mengambil sikap sesuai keilmuan dan melalui sistem organisasi.
Dalam proses kajian itu, PP Muhamamdiyah mengundang sejumlah pihak bertemu untuk mendapakan penjelasan dan masukan. Para pihak yang dimaksud antara lain Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Jusuf Kalla, juga sejumlah pengusaha tambang.
Baca Juga: Oemar Moechthar, Izin HGU 190 Tahun di IKN Ditinjau Ulang karena Potensial Konflik
Lantaran itu pula, Haedar membantah pengambilan putusan karena ikut-ikutan pihak lain atau pun mendapat tekanan pihak lain.
“Kami ingin punya role model (pertambangan) yang tidak merusak lingkungan dan tidak menimbulkan perselisihan,” ungkap Haedar terkait salah satu alasan menerima tawaran IUP.
Pertimbangan lain soal alasan menerima IUP adalah ingin mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial untuk orang banyak.
Baca Juga: Investigasi Jatam dan Walhi, Banjir dan Longsor di Maluku Utara Akibat Tambang Nikel
Namun dia juga mengaku itu tidak mudah, tapi menjadi tantangan Muhammadiyah yang selama ini telah bergerak di banyak bidang. Bahkan telah mengumumkan tim pengelola tambang yang diketuai salah satu Pengurus PP Muhammadiyah, Muhadjir Effendy. Dia adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) dan telah masuk dalam kabinet Joko Widodo selama dua periode. Pengelolaan tambang akan dilakukan melalui Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM) yang kepengelolaannya berbeda dengan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).
Sementara terkait pihak-pihak yang pro dan kontra atas putusan PP Muhammadiyah, menurut Haedar urusan tambang dipandang Muhammadiyah secara moderat. Maksudnya, tambang tidak boleh dipandang sebagai ladang yang serba positif menggembirakan, apalagi serba duit. Sebaliknya, tambang juga jangan dianggap dan diletakkan sebagai sesuatu yang serba sakit, penuh dengan ancaman dan seakan-akan kiamat kalau masuk ke dunia pertambangan.
“Apabila kami pada akhirnya menemukan pengelolaan tambang itu lebih banyak mafsadatnya, artinya banyak keburukannya untuk lingkungan sosial dan lingkungan hidup serta berbagai aspek lainnya, Muhammadiyah sepakat mengembalikan IUP itu,” imbuh dia.
Baca Juga: Sri Endah, RUU Masyarakat Adat Terlantar karena Pemerintah Tak Paham Konsep
Fakta dan Data Dampak Pertambangan
Muhammadiyah mengklaim dapat memberikan contoh yang baik (uswatun hasanah) dalam mengelola tambang batubara. Yakni penambangan tanpa merusak lingkungan dan tidak akan melahirkan konflik sosial. Bisakah?
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Anggota Bidang Kajian Politik SDA LHKP PP Muhammadiyah, Parid Ridwanuddin menyampaikan fakta dan data dampak pertambangan di Indonesia dalam artikelnya berjudul “Terima Tambang Batubara, Muhammadiyah Bergerak Mundur” yang dimuat dalam web Kader Hijau Muhammadiyah.
Pertama, bahwa batubara adalah energi fosil yang paling kotor. Secara global, per satu giga watt energi yang berasal dari batubara menghasilkan emisi sebesar 820 ton C02.
Baca Juga: Tiga Kali Gempa Kuningan adalah Satu Rangkaian Sesar Ciremai
Angka ini yang tertinggi dibandingkan minyak dan energi lainnya. Kontribusi batubara pada sektor energi telah membawa Indonesia menjadi penghasil emisi terbesar ke-9 di dunia dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021. Dalam konteks krisis iklim, Bappenas mencatat, Indonesia telah mengalami kerugian sebesar 544 triliun sepanjang 2020-2024.
Sementara satu terawatt energi yang berasal dari batubara terbukti telah membunuh lebih dari 24 orang. Di Indonesia, pencemaran Udara yang dhasilkan oleh PLTU telah menyebabkan lebih dari 123 ribu meninggal per tahun akibat polusi Udara. Lalu, sepanjang sepanjang 2023, polusi udara telah menyebabkan 8100 kematian di Jakarta dan membawa kerugian sekitar US$ 2,1 miliar.
“Itu baru di Jakarta saja,” kata Parid.
Baca Juga: UU Masyarakat Adat adalah Janji Pilpres 2014 yang Belum Dipenuhi
Discussion about this post