Sabtu, 2 Agustus 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Konflik Tenurial, BAM DPR Dorong Keadilan Bagi Warga di Kawasan Hutan

Tugas negara bukan membuat masalah bagi rakyat, tapi menyelesaikannya. Jangan sampai karena regulasi yang tumpang tindih, rakyat dijadikan pelanggar hukum di atas tanah mereka sendiri.

Jumat, 25 Juli 2025
A A
Represifitas dalam penanganan konflik agraria di Seruyan, Kalimantan Tengah. Foto Dok. KPA.

Represifitas dalam penanganan konflik agraria di Seruyan, Kalimantan Tengah. Foto Dok. KPA.

Share on FacebookShare on Twitter

Wanaloka.com – Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI melaksanakan kunjungan kerja spesifik ke Desa Sukawangi, Kabupaten Bogor untuk menindaklanjuti persoalan status kawasan hutan yang lama dikeluhkan warga, Kamis, 10 Juli 2025. Menurut Wakil Ketua BAM, Adian Napitupulu, permasalahan tumpang tindih antara penetapan kawasan hutan dan keberadaan desa atau lahan transmigrasi adalah masalah nasional yang harus segera diselesaikan secara menyeluruh.

Saat ini terdapat 25.863 desa di Indonesia yang masuk dalam kawasan hutan. Di luar itu, ada 185.000 lebih transmigran yang lahannya juga masuk kawasan hutan. Kondisi ini menimbulkan konsekuensi hukum yang tidak adil bagi masyarakat.

“Bahkan jika seorang ibu membangun kandang ayam di pekarangan rumahnya yang berada di kawasan hutan, ia bisa dituduh merambah hutan. Ini tidak bisa terus dibiarkan,” tegas Adian.

Baca juga: Ikan Nila dan Mujair Berbeda secara Morfologis, Tak Jauh Beda dalam Reproduksi

Tumpang tindih kebijakan dan ketidakjelasan regulasi telah membuat jutaan warga Indonesia hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian hukum. Status desa yang sudah berdiri sejak lama, bahkan sebelum penetapan kawasan hutan dilakukan, seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan kehutanan.

“Jika desanya lebih dulu ada, maka kawasan hutan yang harus menyesuaikan. Apalagi ada kawasan yang baru ditetapkan lewat SK penunjukan. Masa aturan zaman Belanda tahun 1927 dijadikan rujukan utama? Kita ini sudah merdeka dan rakyat harus merdeka dari rasa was-was akan status tanah tempat mereka tinggal,” tegas dia.

Adian juga menyoroti ironi berbagai infrastruktur yang dibangun menggunakan APBD, APBN, bahkan dana desa, seperti sekolah, puskesmas, hingga jalan desa. Namun jika berada di dalam kawasan hutan, maka secara hukum dianggap melanggar dan dapat disebut ‘merambah hutan’.

Baca juga: MK Tolak Uji Formil UU KSDAHE, Dissenting Opinion Dua Hakim Sebut Ada Pelanggaran

“Kalau begitu, negara sendiri yang merambah hutan. Ini kan absurd. Maka kami dorong agar semua pihak menyadari masalah ini bukan sekadar administratif, tapi menyangkut 40 juta jiwa warga negara yang perlu perlindungan hukum,” imbuh dia.

Ketua BAM DPR, Ahmad Heryawan menambahkan persoalan lahan ini menyangkut masyarakat yang telah lama tinggal di kawasan hutan, bahkan sejak tahun 1950-an dan 1960-an. Pendekatan dalam penataan kawasan hutan harus dilakukan secara arif dan manusiawi.

“Kami semua sepakat pelestarian hutan tetap penting. Namun, pada saat yang sama, kami juga harus mengakui fakta bahwa sebagian besar masyarakat sudah lama tinggal dan membangun kehidupan di kawasan tersebut. Sudah ada pemukiman, sekolah, dan fasilitas sosial lainnya. Ini yang perlu diakomodasi,” tegas dia.

Baca juga: Juli Puncak Kemarau di Riau, Potensi Karhutla Meningkat hingga Awal Agustus

Menurut Aher, solusi awal yang disepakati di lapangan meliputi tiga hal. Bahwa sebagian lahan akan dilepaskan dari kawasan hutan, sebagian dijadikan kawasan perhutanan sosial, dan sebagian lainnya diberikan melalui skema pinjam pakai untuk masyarakat.

Ia juga menekankan pentingnya kepastian hukum agar masyarakat tidak terus-menerus dipersepsikan sebagai pelanggar.

“Banyak masyarakat yang tinggal di sini bukan karena melanggar, tapi karena memang sejak awal sudah menempati lahan tersebut. Bahkan sebagian atas arahan pemerintah masa itu, ketika batas-batas hutan belum jelas seperti sekarang. Maka negara harus hadir dan melindungi mereka,” lanjut Heryawan.

Baca juga: Lahan Konservasi Gajah dari Prabowo, Pakar Ingatkan Kepastian Status Lahan dan Kesesuaian Habitat

BAM DPR telah mendistribusikan isu ini ke berbagai komisi terkait, seperti Komisi II (Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan), Komisi IV (Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup), Komisi V (Kementerian Desa dan Transmigrasi). Termasuk dengan format Forum Group Discussion (FGD), guna menyusun solusi jangka panjang yang adil, terukur, dan berkelanjutan.

“Insya Allah akan ada pertemuan-pertemuan lanjutan. Kami ingin penataan hutan berjalan dengan baik, pelestarian tetap terjaga, namun hak dan nasib masyarakat juga tidak dikorbankan. Kami harus mencari solusi yang berpihak pada rakyat,” janji Aher.

Selanjutnya, BAM akan melaporkan temuan dan rekomendasi kepada Pimpinan DPR untuk dibahas dalam forum lintas kementerian dan lembaga. Diharapkan langkah ini menjadi bagian dari solusi nasional guna menata ulang kebijakan kehutanan yang berpihak pada masyarakat tanpa mengabaikan aspek pelestarian lingkungan.

Baca juga: Lebih Dua Dekade, Baleg dan Komisi XIII DPR Janji Sahkan RUU Masyarakat Adat

“Tugas negara bukan membuat masalah bagi rakyat, tapi menyelesaikannya. Jangan sampai karena regulasi yang tumpang tindih, rakyat dijadikan pelanggar hukum di atas tanah mereka sendiri,” imbuh Adian.

Relokasi masyarakat TN Tesso Nilo

BAM DPR juga menggelar pertemuan dengan Gubernur Riau dan jajaran pemerintah kabupaten/kota serta TNI-Polri terkait perlindungan hak hidup warga desa yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kamis, 10 Juli 2025. Persoalan bermula terkait rencana relokasi atau transmigrasi mandiri yang memunculkan konflik. Namun perlu relokasi yang cermat agar tidak memicu konflik baru, baik secara vertikal maupun horizontal.

“Prinsipnya, hutan ini akan kami kembalikan, itu penting. Tapi yang paling penting, jangan sampai ada konflik,” ujar Anggota BAM, Obon Tabroni di Kantor Gubernur, Pekanbaru, Provinsi Riau.

Baca juga: Fondasi Gedung Pusat Komando Peringatan Dini Multi Bahaya Sedalam 30 Meter

Legislator Fraksi Partai Gerindra itu menekankan dalam proses pengembalian fungsi hutan, yang harus diperhatikan adalah nasib warga yang telah lama bermukim di kawasan TNTN dan yang tergolong mandiri untuk perlu dilindungi agar tidak menjadi korban dalam proses penertiban kawasan konservasi.

“Tadi sudah disampaikan Pak Gubernur, pekerja-pekerja yang dibawa cukong-cukong bukan tanggung jawab dari pemerintah. Tapi penduduk yang memang sudah ada di sini 2 sampai 10 tahun dan lainnya, itu yang harus dipastikan mereka tidak terlalu menjadi dampak,” tandas Obon.

Meskipun BAM tidak secara langsung melakukan verifikasi ke lapangan, Obon menjanjikan akan terus berkoordinasi dengan komisi dan fraksi lain di DPR agar persoalan ini mendapat perhatian menyeluruh dan solusinya bersifat lintas sektor. Ia juga menyebut banyak informasi telah masuk ke BAM, baik dari masyarakat langsung maupun dari lembaga seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Baca juga: Karhutla Juga Terpantau di Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Kalimantan Selatan

“Kami puas dengan pertemuan ini, tapi tentu kami akan terus mengawal bagaimana tindak lanjutnya. Jangan sampai setelah pertemuan ini prosesnya berhenti,” tegas Obon.

Gubernur Riau Abdul Wahid menyatakan Pemerintah Provinsi Riau, termasuk Satgas, telah berupaya membuka secara menyeluruh data kondisi masyarakat dan lahan di kawasan TNTN agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

“Kami sudah buka data semua, sudah kasih paparan sehingga tidak ada misspersepsi. Mudah-mudahan data ini untuk memberikan rasa keadilan kepada semuanya,” ujar Abdul Wahid.

Baca juga: Bambang Hero, Ada Dua Rekomendasi Hadapi Peningkatan Karhutla Ekstrem

Ia menambahkan, berbagai karakter masyarakat yang mendiami kawasan TNTN membuat pendekatan solusi tidak bisa disamaratakan.

Terkait

Page 1 of 2
12Next
Tags: BAM DPRkawasan hutanKementerian Kehutanankonflik tenurialmasyarakat adatperhutanan sosial

Editor

Next Post
Rusa dan kijang. Foto: Blaise Droz/www.viensdanslajungle.ch & arundoc/freepik.

Ranggah Kijang Bercabang Dua, Ranggah Rusa Bercabang Banyak

Discussion about this post

TERKINI

  • Ilustrasi penyu. Foto ambquinn/pixabay.com.Menguak Asal Usul Penyu Indonesia Lewat Sidik Jari Genetik yang Berbeda
    In Rehat
    Sabtu, 2 Agustus 2025
  • Ilustrasi kemenyan untuk bahan pembuatan parfum. Foto xbqs42/pixabay.com.Potensial Jadi Parfum Tropis Premium, Hilirisasi Kemenyan Harus Pertimbangkan Kelestarian Hutan
    In Rehat
    Jumat, 1 Agustus 2025
  • Desakan pencabutan izin terhadap korporasi pembakar hutan. Foto Dok. Walhi.Catatan Walhi, Karhutla Berulang Bukti Negara Melindungi Korporasi Pembakar Hutan
    In Lingkungan
    Jumat, 1 Agustus 2025
  • Kebun Raya Mangrove di Surabaya, Jawa Timur. Foto Dok. BRIN.Peran Kebun Raya Mangrove Surabaya dari Konservasi hingga Ketahanan Pangan
    In News
    Kamis, 31 Juli 2025
  • Memeluk pohon, salah satu bentuk terapi forest bathing. Foto aszak/pixabay.com.Forest Bathing, Terapi Redakan Stres Ringan hingga Sedang
    In Rehat
    Kamis, 31 Juli 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media