“Ada yang datang lebih awal, ada yang di-hire, ada yang menjual rumah dan kebunnya di kampung, ada pula yang baru menikah dan tinggal di sana. Maka perlu verifikasi agar perlakuannya bisa berbeda sesuai situasi mereka,” jelas dia.
Ia menekankan solusi yang diambil harus berdasarkan data final.
“Kami membuat berbagai solusi sehingga nanti bisa mengambil keputusan yang objektif,” kata dia.
Baca juga: Hasil Tinjauan BNPB, Kebakaran Lahan dan Hutan Terjadi di Seluruh Wilayah Riau
Terkait skema relokasi, prosesnya masih dalam tahap awal dan dilakukan secara bertahap dengan pola berbeda-beda.
“Kalau yang dibawa cukong, ya tentu cukong yang tanggung jawab. Kalau yang datang sendiri dan memang tidak ada lagi penghasilan, salah satu solusi bolehlah panen sekarang untuk modal, waktunya tergantung kami lihat,” kata dia.
Sebelumnya, BAM telah menerima aspirasi dari Koperasi Produsen Mekar Sakti Jaya, Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan TNTN Riau, dan YLBH Cerdas Bangsa, Rabu 2 Juli 2025. Agenda saat itu adalah mendengarkan aspirasi terkait perlindungan hukum dan hak hidup rakyat yang tinggal di desa-desa daerah sekitar Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Riau.
Baca juga: Temuan Indonesian Wild Shiitake, Bukti Jutaan Spesies Jamur Belum Terungkap
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tersebut, disampaikan sejumlah permasalahan. Antara lain pengabaian hak atas tanah masyarakat dalam penunjukan kawasan TNTN, tidak djalankannya putusan pengadilan yang memenangkan masyarakat, klaim kawasan TNTN oleh pengelola padahal belum sampai pada tahap penetapan.
Kemudian masyarakat mendapat intimidasi berupa penyegelan rumah, larangan sekolah, pemutusan aliran listrik hingga pelarangan aktivitas jual beli TBS kelapa sawit dan diminta meninggalkan kawasan; serta penolakan penerbitan SHM meskipun sudah ada surat ukur.
LPSK harus turun tangan
Sementara Anggota Komisi XIII DPR, Siti Aisyah mendesak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera turun tangan menanggapi kasus penggusuran lahan yang viral di Taman Nasional Tesso Nilo. Ia menyoroti minimnya sosialisasi LPSK sehingga banyak masyarakat yang membutuhkan perlindungan tidak mengetahui keberadaan lembaga tersebut.
Baca juga: Riset Paleotsunami Temukan Jejak Tsunami Raksasa Dua Kilometer dari Bandara Yogyakarta
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan LPSK, Siti Aisyah mengungkapkan keprihatinannya terhadap nasib warga yang tergusur dari lahan mereka di Taman Nasional Tesso Nilo.
“Sekitar 40 ribu warga negara Indonesia tergusur, kehilangan kehidupan, mata pencaharian, sekolah, anak-anak enggak bisa sekolah, harta mereka atau kebun mereka digusur, yang sebagian sudah punya sertifikat alas hak itu tidak dipandang lagi,” ujar Siti Aisyah di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu, 16 Juli 2025.
Ia menjelaskan bahwa penggusuran tersebut dilakukan oleh Satgas Penanganan Kawasan Hutan dan menimbulkan ketakutan serta tekanan psikologis di kalangan warga. Dugaan intimidasi, kekerasan verbal dan fisik, serta ancaman kriminalisasi disebutnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang nyata.
Baca juga: Dibuka Jalur Pendakian Puncak Pulau Kecil di Morowali, Pulau Tokonanaka
“Untuk solusi itu mereka melakukan kriminalisasi, mereka ditahan, negosiasinya harus menekan pelepasan tanahnya 400 hektare atau lebih,” ungkap Politisi Fraksi PDI-Perjuangan. Oleh karena itu, ia meminta LPSK untuk proaktif, meskipun ia memahami bahwa LPSK bertugas secara reaktif berdasarkan pengaduan. Ia menyatakan dirinya sebagai pengadu dari masyarakat terkait masalah ini.
Legislator Dapil Riau II ini juga mengungkapkan keyakinannya bahwa LPSK tidak mungkin tidak mengetahui masalah penggusuran ini, karena dampak “penertiban PKH” (Penanganan Kawasan Hutan) tersebut telah meluas dan mengganggu petani di seluruh Indonesia, termasuk di Riau (Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Indragiri Hulu) dan kini mulai merambah ke Jambi dan Kalimantan.
Perhutanan sosial diklaim jadi solusi
Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian Kehutanan menyelenggarakan Workshop Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan di Jakarta, 24 Juli 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat sinergi antara para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah dalam menangani konflik tenurial yang terjadi di kawasan hutan.
Baca juga: Temuan Walhi di 10 Provinsi, Praktik Penertiban Kawasan Hutan Justru Melegalkan Kejahatan Negara
“Konflik tenurial merupakan konsekuensi yang tidak terhindarkan dalam implementasi kebijakan sektor kehutanan. Jadi diperlukan pendekatan yang adil dan berpihak pada masyarakat,” kata Direktur PKTHA, Julmansyah.
Menurut dia, upaya penyelesaian konflik harus dilandasi semangat kolaborasi, membangun kepercayaan, serta komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya.
“Penyelesaian konflik tenurial tidak dapat diselesaikan secara sektoral maupun parsial,” imbuh dia.
Diperlukan pendekatan kebijakan yang holistik dan terintegrasi, serta kerja kolaboratif lintas sektor dan wilayah. Kementerian Kehutanan menjanjikan upaya peningkatan kapasitas dan kemandirian masyarakat, penguatan kelembagaan lokal, kewirausahaan sosial, serta pelestarian pengetahuan tradisional dan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan.
Baca juga: Artefak Hasil Ekskavasi 15 Tahun Lalu Dikembalikan ke Labuan Bajo
Inspektur II Kemenhut, Nur Sumedi menambahkan, penyelesaian konflik tenurial kehutanan memerlukan strategi yang disesuaikan dengan karakteristik dan dinamika di lapangan. Dalam menjalankan tugas pengawasan intern, Inspektorat Jenderal berkomitmen untuk terus mendukung langkah-langkah penyelesaian yang akuntabel dan adaptif terhadap kompleksitas persoalan tenurial kehutanan.
Sementara itu, Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, Marcus Octavianus Susatyo, menekankan pentingnya peran pendampingan dalam rangka memperkuat keberhasilan distribusi akses legal melalui program Perhutanan Sosial, yang telah ditetapkan sebagai program strategis nasional.
Perhutanan Sosial diklaim menjadi salah satu model resolusi konflik yang memberi ruang pemberdayaan kepada masyarakat secara legal dan berkelanjutan.
Baca juga: Lumba-lumba Bongkok Indo-Pasifik Ditemukan di Perairan Serdang Bedagai
Plt. Direktur Jenderal Perhutanan Sosial, Mahfudz menambahkan, Perhutanan Sosial menjadi instrumen penting dalam menyediakan ruang penyelesaian konflik secara berkeadilan dan inklusif, serta mendorong terciptanya tata kelola kehutanan yang lebih partisipatif bersama masyarakat.
“Kementerian Kehutanan mendorong implementasi program Satu Peta dan pengembangan Decision Support System (DSS) guna memperkuat keakuratan data spasial, mencegah tumpang tindih perizinan, dan mewujudkan keselarasan data antar instansi,” kata dia. [WLC02]
Sumber: DPR, Kementerian Kehutanan
Discussion about this post