Pemerintah bahkan tutup mata dengan adanya aktivitas ekstraktif yang dilakukan oleh PT Gorontalo Minerals di luas kawasan hutan seluas 24.996 ha. Aktivitas itu sangat berpotensi menghancurkan ekosistem hutan dan sumber-sumber kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Pada kasus longsor yang menyebabkan jatuhnya banyak korban terjadi karena ada aktivitas pertambangan rakyat yang secara masif telah menyebabkan kerusakan lingkungan sejak tahun 1992. Kasus ini juga bukan yang pertama. Dua tahun setelah tambang rakyat beroperasi pada 1994 longsor terjadi. Meskipun tidak ada korban, tetapi menyebabkan banjir dan lumpur dari titik-titik bor terbawa sampai ke pemukiman warga. Berturut-turut banjir dan longsor terjadi pada tahun 1994, 2002, 2020.
“Yang paling menyayat hati terjadi tahun ini dengan menelan ratusan korban,” kata Defri.
Simpul Walhi Gorontalo menduga hal ini terjadi karena pemerintah sengaja membiarkan masuknya investasi berbasis sumber daya alam lewat konsesi-konsesi perusahaan dan pertambangan rakyat ilegal, tidak ramah lingkungan, dan tidak memiliki jaminan keselamatan kerja yang berlangsung cukup lama.
Baca Juga: Taryono, Perlu Pemuliaan Tanaman Lebih Cepat dengan Siklus Pendek
Di sisi lain, langgengnya pertambangan rakyat juga dimanfaatkan beberapa oknum tertentu sebagai ladang untuk mengakumulasi keuntungan pribadi. Pada saat yang sama, revisi UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (RUU Minerba), juga melemahkan otoritas untuk memeriksa dan menyelidiki praktik pertambangan rakyat, debirokratisasi perizinan, hingga rekonsentrasi kekuasaan pada pemerintah pusat yang mengakibatkan hilangnya wewenang sepenuhnya pemerintah daerah.
“Ada pelemahan hingga pembiaran-pembiaran secara sistematik dalam konteks operasi ekstraktif inilah yang turut mendorong laju kerusakan lingkungan menciptakan bencana ekologis di Gorontalo,” papar Defri.
Tujuh Tuntutan
Berdasarkan data-data tersebut, Simpul Walhi Gorontalo menyatakan sikap bahwa pemerintah harus:
Baca Juga: Investor IKN Dapat HGU 190 Tahun, Masyarakat Adat Kian Terasing di Tanahnya
Pertama, berhenti mengambinghitamkan hujan sebagai alasan penyebab banjir dan longsor yang terjadi di Provinsi Gorontalo.
Kedua, Segera melakukan tindakan mitigasi dan adaptasi bencana secara menyeluruh untuk meminimalisir risiko dan dampak bencana.
Ketiga, moratorium sekarang juga izin-izin perusahaan ekstraktif pemegang konsesi pertambangan dan perkebunan yang menghancurkan ekosistem hutan dan menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana ekologis di Provinsi Gorontalo.
Baca Juga: Status Gunung Semeru Jadi Waspada, Hati-hati Lontaran Batu Pijar
Keempat, melakukan review dan pencabutan perizinan terhadap tambang, perkebunan yang rakus ruang dan lahan, serta melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan dan sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan ekstraktif di Gorontalo.
Kelima, menindaklanjuti secara tegas oknum-oknum terkait yang memanfaatkan aktivitas pertambangan rakyat untuk keuntungan pribadi.
Keenam, merevisi kebijakan agropolitan berbasis jagung yang menyebabkan alih fungsi lahan secara besar-besaran dan degradasi lingkungan yang parah.
Ketujuh, segera kaji kembali izin pinjam pakai kawasan hutan di Provinsi Gorontalo. [WLC02]
Sumber: Walhi







Discussion about this post