Wanaloka.com – Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango di Provinsi Gorontalo dilanda banjir dan tanah longsor pada 7 Juli 2024. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Gorontalo mengidentifikasi korban terdampak banjir mencapai 36.100 jiwa per 12 Juli 2024. Jumlah ini di luar 325 orang yang terdampak insiden longsor di wilayah pertambangan rakyat di Suwawa Timur. Dengan rincian, 283 orang selamat, 27 orang tewas dan 15 orang belum ditemukan.
Seminggu pascabencana, tepatnya 14 Juli 2024, Gubernur Gorontalo baru menetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Banjir, Banjir Bandang dan Tanah Longsor melalui Surat Keputusan Gubernur No. 267/32/VII/2024 tertanggal 10 Juli 2024.
“Artinya, pemerintah sebenarnya lamban dalam merespons situasi bencana yang terjadi,” tegas salah satu narahubung Simpul Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Gorontalo, Defri dalam siaran tertulis, Jumat, 19 Juli 2024.
Baca Juga: Tower Pemantau Gas Rumah Kaca di Jambi Tekan Laju Perubahan Iklim
Bencana Berulang
Banjir, banjir bandang dan tanah longsor, menurut catatan Simpul Walhi Gorontalo, sebenarnya bukanlah bencana ekologis yang pertama kali terjadi di Gorontalo. Setiap kali masuk musim hujan dengan curah atau intensitas tinggi, hampir seluruh wilayah di Gorontalo selalu terdampak.
Tahun 2022 misalnya, wilayah Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango tergenang banjir dengan estimasi korban terdampak mencapai 3.409 orang. Lebih lawas lagi, tahun 2016, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Bone Bolango dengan estimasi korban terdampak lebih dari 15.000 orang (Antara Gorontalo, 2016).
“Dan bencana ekologis tahun ini adalah terparah dalam 10 tahun terakhir,” imbuh Defri.
Sayangnya, sikap pemerintah daerah dalam menghadapi bencana menahun ini sangat mengecewakan. Intensitas dan curah hujan selalu dijadikan alasan pamungkas terjadi banjir dan longsor. Bahkan, alih-alih terpicu untuk melakukan upaya mitigasi dan adaptasi bencana secara menyeluruh, pemerintah Provinsi Gorontalo hanya mengeluarkan Surat Imbauan Nomor 800/1832/PemKesra. Surat itu ditujukan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengadakan Salat Tolak Bala.
Baca Juga: Jatam Kritisi Ekspansi Geothermal, Ancaman Bagi Warga dan Lingkungan
Padahal, intensitas dan curah hujan serta kondisi cuaca lainnya bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya banjir dan longsor menahun di sana.
“Menjadikan faktor alamiah sebagai satu-satunya penyebab bencana, bagi kami adalah sikap naif dan merupakan upaya menormalisasi dampak bencana yang terjadi,” tukas Defri.
Faktor lain yang paling penting adalah alih fungsi lahan, pembangunan dan penataan ruang yang carut-marut. Sementara menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mengamanatkan pemerintah, baik daerah maupun nasional untuk melakukan penanggulangan bencana secara menyeluruh.
Baca Juga: Longsor Tewaskan Tujuh Warga Mimika, Akses Freeport ke Kampung Terputus
Melalui UU tersebut, pemerintah diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan (Pasal 7 ayat 1 [f] dan Pasal 9 e), dan dapat merelokasi pemukiman di wilayah yang ditetapkan sebagai area rawan bencana (Pasal 32 ayat 1 dan 2).
Andil Pembukaan Lahan
Pada kasus banjir dan banjir bandang ini, pemerintah tidak memperhatikan deforestasi akibat pembukaan lahan pertanian monokultur jagung, perkebunan sawit, atau bentuk alih fungsi lahan lainnya secara besar-besaran. Data dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan, pada kurun waktu 2017–2021 Provinsi Gorontalo mengalami deforestasi akibat konsesi perusahaan tambang dan perkebunan seluas 33.492,76 ha (FWI, 2024).
Tak luput juga masalah tata ruang perkotaan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan hidup dan kesesuaian lahan: drainase yang jauh dari standar, pemukiman di area rawan bencana, dan hilangnya area tangkapan air akibat pembangunan.
Baca Juga: Kepala BNPB Minta Tanggap Darurat Bencana Gorontalo Tak Terlalu Lama
Discussion about this post