Wanaloka.com – Lima orang tokoh pergerakan Indonesia akan ditetapkan sebagai pahlawan nasional dalam Peringatan Hari Pahlawan 10 November yang akan digelar pada 7 November 2022 di Istana Negara Jakarta. Mereka adalah DR. dr. H. R. Soeharto dari Jawa Tengah, Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Paku Alam VIII dari DI Yogyakarta, dr. Raden Rubini Natawisastra dari Kalimantan Barat, H. Salahuddin bin Talibuddin dari Maluku Utara, dan K.H. Ahmad Sanusi dari Jawa Barat.
“Lima tokoh ini dipilih berdasarkan usulan masyarakat dan melalui proses seleksi,” kata Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Mahfud MD dalam keterangannya usai berdiskusi terkait nama-nama tokoh yang akan mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 3 November 2022.
Hasilnya, nama kelima tokoh tersebut yang diputuskan untuk mendapat gelar. Alasannya, mereka adalah tokoh-tokoh bangsa yang turut berjuang mendirikan negara Republik Indonesia melalui perjuangan kemerdekaan. Berikut turut mengisinya dengan pembangunan sehingga Indonesia tetap eksis sebagai negara yang berdaulat.
Baca Juga: Agar Lebih Gercep Penanggulangan Bencana, BNPB Latih 38 Pejabat Jawa Timur
Apakah peran kelima tokoh tersebut?
Pertama, DR. dr. H. R. Soeharto dinilai telah berjuang bersama Presiden Soekarno dalam perjuangan kemerdekaan. Usai kemerdekaan, Soeharto ikut serta dalam pembangunan sejumlah infrastruktur di Tanah Air. Meliputi ikut serta membangun department store syariah, Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, dan Rumah Sakit Jakarta.
“Beliau juga salah seorang pendiri IDI (Ikatan Dokter Indonesia),” ungkap Mahfud.
Kedua, KGPAA Paku Alam VIII adalah Adipati Puro Pakualaman sejak 1937-1989. Ia bersama Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sultan Hamengkubowono IX dinilai telah mengintegrasikan diri sejak awal kemerdekaan Indonesia sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi utuh hingga saat ini.
Baca Juga: Gempa Skala Magnitudo 5 Guncang Ternate dan Saumlaki
“Sehari sesudah (kemerdekaan), beliau menyatakan bergabung dengan NKRI,” tutur Mahfud. Yogyakarta pun menjadi ibu kota kedua Republik ini ketika terjadi agresi Belanda pada 1946.
Ketiga, dr. Raden Rubini Natawisastra dinilai telah menjalankan misi kemanusiaan sebagai dokter keliling saat kemerdekaan. Bahkan ia dan istrinya dijatuhi hukuman mati oleh Jepang karena perjuangannya yang gigih untuk kemerdekaan Indonesia.
Discussion about this post