Dampak Mikroplastik
Masalah yang disebabkan mikroplastik lebih besar dari yang diperkirakan sehingga dinilai berbahaya dan mengancam keberlangsungan makhluk hidup. Berdasarkan komponennya plastik tersusun senyawa utama, meliputi styrene, vinil klorida dan bisphenol A. Apabia tubuh terpapar senyawa tersebut akan menyebabkan iritasi atau gangguan pernafasan, gangguan hormone endokrin, hingga berpotensi menyebabkan kanker.
Baca Juga: 2023, Epidemiolog Harapkan PPKM Dicabut, Presiden Tunggu Kajian
Senyawa tambahan yang dicampurkan ke dalam plastik meliputi phthalate, penghalang api, dan alkalyphenol juga dapat menyebabkan gangguan aktivitas endokrin hingga berdampak pada kesuburan. Senyawa dari plastik memiliki aktifitas mengganggu hormone estrogen, karena apabila masuk ke dalam tubuh dapat meniru hormon estrogen. Senyawa tersebut dapat menurunkan kadar hormon testosteron plasma dan testis, LH plasma, dan menyebabkan morfologi abnomal, seperti penurunan jumlah sel Leydig pada biota jantan.
Apabila timbulan sampah semakin bertambah di tiap-tiap lokasi menandakan banyak persoalan. Pertama, banyak sampah plastik yang bocor ke lingkungan. Kedua, TPA overload di setiap daerah. Ketiga, ada kontaminasi mikroplastik di 68 sungai Indonesia yang tersebar di 24 provinsi di 9 pulau di Indonesia.
Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah segera membuat kebijakan dan strategi untuk menyelesaikan masalah persampahan dan tata kelola sampah di indonesia. Tujuannya agar sampah plastik tidak bocor ke lingkungan yang menjadi cikal bakal mikroplastik.
Baca Juga: Sumber Gempa Dangkal di Selatan Kota Kebumen Jawa Tengah
Sejumlah rekomendasi telah disusun Ecoton Foundation untuk pemerintah, sebagai berikut :
Pertama, membuat baku mutu atau nilai ambang batas mikroplastik di perairan sungai Indonesia, sebagai implementasi lampiran 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang PPLH yang menyebutkan baku mutu sungai harus “Nihil Sampah”.
Kedua, melakukan pemulihan lingkungan dan pembersihan sampah plastik yang tercecer ke lingkungan yang menjadi biang mikroplastik.
Ketiga, memperluas regulasi pembatasan dan pengurangan Plastik Sekali Pakai di Indonesia dan secara tegas melarang penggunaan tas kresek, sachet, styrofoam, botol air minum dalam kemasan/AMDK, popok, dan sedotan di pusat perbelanjaan, pasar, supermarket, retail yang tersebar di setiap daerah.
Baca Juga: Geopark Jadi Wisata Geologis yang Unggul, Unik, dan Berkelanjutan
Keempat, menerapkan konsep Zero Waste City dalam tata kelola sampah di setiap daerah dengan mendukung pemilahan sampah dari sumber. Tujuannya, beban sampah di TPA berkurang dan sampah plastik tidak bocor ke lingkungan.
Kelima, kenaikkan anggaran program tata kelola sampah di setiap daerah, menyediakan dan memperbanyak fasilitas pembuangan sampah drop point untuk sampah sachet, popok, organik dan anorganik di titik – titik timbulan sampah yang tersebar di lingkungan dan memperbanyak TPS 3 R (Reduce, Reuse, Rcycle) di setiap daerah.
Keenam, mendorong produsen penghasil sampah plastik, khususnya sachet untuk segara merancang dokumen peta jalan pengurangan sampah dan melakukan kiat-kiat pengurangan produk kemasan yang berpotensi mencemari lingkungan dengan pedoman regulasi Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah.
Baca Juga: Cegah Pencemaran Lingkungan Lewat Edukasi Penanganan Sampah Plastik Sejak Usia Dini
Ketujuh, mendorong produsen pengasil sampah plastik melakukan upaya EPR dengan melakukan pembersihan sampah produknya yang tercecer ke lingkungan dan memprioritaskan CSR lingkungannya untuk penanganan sampah plastik.
Kedelapan, pemerintah sudah saatnya mengembangkan inovasi program dan teknologi infrastruktur pengelolaan sampah yang mutakhir dan non emisi dalam penanganan sampah plastik di lingkungan. Serta menolak solusi RDF (Refuse – derived fuel), yakni bahan bakar yang berasal dari limbah atau sampah melalui proses dihomogenisasi menjadi pelet, briket, dan cacahan.
Baca Juga: PT Bukit Asam Tanda Tangani Perjanjian Kerja Sama Rehabilitasi Mangrove
RDF memberikan dampak negatif yang membahayan. Pertama, membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia, karena pembakaran RDF menghasilkan senyawa beracun kimia dioksin, logam berat, polutan organik dan partikel halus ke udara yang menyebabkan masalah kesehatan seperti kanker, masalah reproduksi, dan gangguan hormon.
Kedua, bukan sumber energi terbarukan, mahal, dan tidak efisien, karena pembakaran RDF menghasilkan energi yang sedikit dengan biaya produksi yang mahal. [WLC02]







Discussion about this post