Wanaloka.com – Masalah lingkungan masih menjadi persoalan besar menjelang penghujung 2022. Pekerjaan rumah yang sampai saat ini belum bisa diatasi adalah sampah plastik dan pencemaran sungai akibat sampah plastik. Sebab, sampah plastik yang dibuang ke sungai menyebabkan sungai tercemar mikroplastik yang berbahaya. Sementara air sungai dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan air.
“Terbukti, partikel mikroplastik ditemukan di beberapa komponen kehidupan mulai dari air, udara, ikan, dan telah teridentifikasi dalam darah, ASI, dan paru-paru manusia,” kata Divisi Riset dan Edukasi Ecoton (Ecological Observation and Wetland Concervation/Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah) Foundation, Muhammad Alaika Rahmatulloh dalam rilis yang diterima Wanaloka.com, 29 Desember 2022.
Sayang, bahaya mikroplastik belum menghentikan kegiatan produksi plastik yang masih tetap berlangsung. Alih-alih mengatasi persoalan sampah plastik dan dampaknya, justru ada upaya mengubah sampah plastik jadi energi alias WTE (Waste to Energy).
Baca Juga: Waspada Potensi Karhutla Musim Kemarau Agustus-September 2023
“WTE adalah masalah, karena dapat melepaskan mikroplastik beserta bahan racun plastik ke lingkungan,” imbuh Alaika.
Data Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) 2022 yang menguji kandungan mikroplastik di 68 sungai strategis nasional, menunjukkan ada lima provinsi yang sungainya paling tinggi terkontaminasi partikel mikroplastik. Meliputi Jawa Timur ditemukan 636 partikel/100 liter, Sumatera Utara ditemukan 520 partikel/ 100 liter, Sumatera Barat ditemukan 508 partikel/100 liter, Bangka Belitung 497 partikel/100 liter, dan Sulawesi Tengah 417 partikel/100 liter.
Berikut akumulasi data uji mikroplastik di sungai – sungai Indonesia yang tersebar di 24 provinsi di Indonesia.
Baca Juga: Waspada Bencana Hidrometeorologi di 7 Provinsi Ini Jelang Akhir Tahun

Sungai Tercemar Mikroplastik
Air sungai memiliki peran vital dalam kehidupan makhluk hidup sehari-hari sebagai habitat berbagai macam organisme. Keadaan sungai di Indonesia sampai ini dinilai masih buruk karena banyak ditemukan sampah plastik di bantaran dan badan air. Akibatnya, air sungai terkontaminasi mikroplastik, yaitu partikel plastik yang berukuran kurang dari 5 mm.
Baca Juga: Cegah Keresahan, DPR Minta Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrem Satu Pintu

Grafik 2 menjelaskan, kontaminasi mikroplastik di sungai Indonesia pada 2022 didominasi lima zat, yakni: Pertama, Fibre (Serat) 49.20 persen. Sumbernya dari degradasi kain sintetik akibat kegiatan rumah tangga, seperti pencucian kain, laundry dan limbah industri tekstil. Fibre juga disebabkan sampah kain yang tercecer di lingkungan yang terdegradasi karena faktor alam, seperti suhu, arus air, dan sebagainya.
Kedua, Film (Filamen) 25.60 persen. Berasal dari degradasi sampah plastik tipis dan lentur, seperti kresek dan kemasan plastik Single layer SL.
Ketiga, Fragment 18.60 persen. Berasal dari deradasi sampah plastik kaku dan tebal, seperti kemasan sachet multilayer ML, tutup botol, botol shampo dan sabun.
Baca Juga: Rossanto Handoyo: Bea Cukai Plastik Bukan Dongkrak APBN, Tapi Mencegah Bahayanya
Keempat, Pellet 4 persen. Merupakan mikroplastik primer yang langsung diproduksi oleh pabrik untuk bahan baku pembuatan produk plastik.
Kelima, Foam 0,4 persen. berasal dari degradasi setiap jenis plastik dengan struktur foam (berbusa), misalnya dari Styrofoam atau plastik lainya meliputi poliestirena (PS), polietilena (PS) atau polivinil klorida (PVC).
Berdasarkan data Kemeterian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) 2020 yang dikelola FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), menyebutkan tata kelola sampah di Indonesia belum merata. Regulasi terkait tata kelola sampah di level daerah masih minim.
Baca Juga: Laut Banda Kembali Diguncang Gempa
Dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia hanya 45 persen yang sudah memiliki Perda Persampahan dan Perda Retribusi Persampahan. Padahal Presiden Joko Widodo telah meminta pengelolaan sampah harus menjadi program penting untuk dibuat secara terpadu dan sistemik. Harus ada keterlibatan masyarakat dan swasta serta sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.
Selama ini, pengelolaan sampah masih dilakukan secara tradisional memakai pola land field. Jokowi mengatakan, pola tersebut sangat berbahaya karena hanya buang, angkut dan timbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pemanfaatan sampah hanya sekitar 7,5 persen dari total sampah yang menumpuk setiap hari.
Discussion about this post