Wanaloka.com – Sehari usai pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada 20 Oktober 2024, Aliansi Rakyat untuk RUU Keadilan Iklim (Aruki) menyatakan keduanya gagal memenuhi komitmen 1,5℃ untuk demi menyelamatkan rakyat Indonesia dari ancaman krisis iklim.
Kegagalan tersebut tampak dari pidato kenegaraan Presiden baru yang dinilai tidak menaruh perhatian besar atas komitmennya merespon tiga krisis planet bumi (Triple Planetary Crisis), yakni perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta polusi-limbah.
“Sejak awal, visi-misi keduanya sarat terlihat menghindar dari tanggung jawab untuk merespon persoalan krisis iklim. Ini semakin diperkuat dengan jargon keduanya untuk menjadi ‘keberlanjutan’ dari rezim sebelumnya,” kata Sekjen KIARA, Susan Herawati dalam siaran tertulis tertanggal 20 Oktober 2024.
Baca Juga: Pelantikan Presiden Baru, 32 Desa di Murung Raya Terendam Banjir Dua Meter
Sebagaimana diketahui, satu koma lima derajat (1,5℃) merupakan ambang batas bumi agar terhindar dari ancaman dan bahaya krisis iklim. Sebagai negara pihak, Indonesia memiliki kewajiban dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan menetapkan target ambisius dan berkeadilan.
Sementara selama 10 tahun terakhir, pemerintahan Joko Widodo mengorkestrasi program pembangunan yang kental dengan realitas perampasan ruang hidup, konflik agraria, perusakan dan penghancuran lingkungan hidup, ekosistem esensial, serta keanekaragaman hayati. Kebijakan ekonomi yang bertumpu pada industri ekstraktif menunjukkan ketidakpedulian pemerintahan sebelumnya terhadap krisis iklim yang semakin memburuk.
Sekian kondisi itulah yang dengan bangga akan dilanjutkan pemerintahan Prabowo-Gibran. Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), sejumlah pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Kawasan Pariwisata Strategis Nasional (KPSN) telah menyumbang deforestasi, melahirkan perampasan dan penggusuran ruang hidup dan sumber penghidupan, serta kriminalisasi terhadap rakyat di berbagai wilayah di Indonesia.
Baca Juga: Greenpeace Ajak Publik Terus Bersuara Awasi Pemerintahan Prabowo-Gibran
“Proyek-proyek pembangunan yang sarat penghancuran sistem keseimbangan sosial, ekologi serta lingkungan hidup itu akan jadi gambaran ke depan dalam pemerintahan baru,” kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi.
Perempuan terdampak
Perempuan juga tidak luput dari kekerasan yang merupakan dampak berbagai konflik yang terjadi akibat proyek-proyek solusi palsu tersebut. Krisis iklim hari ini telah melahirkan pemiskinan berwajah perempuan.
Catatan kritis solidaritas perempuan menemukan fakta bahwa, berbagai kebijakan iklim melalui proyek Energi geothermal di Poco Leok Nusa tenggara Timur, Gunung Rajabasa Lampung, hingga Pembangkit Listrik tenaga Air (PLTA) Poso Energi di Sulawesi tengah telah memperluas diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan.
Baca Juga: Tasmanian Tiger yang Sudah Punah Bisa ‘Hidup’ Kembali Lewat Teknologi DNA
Penghancuran ruang kelola perempuan dan peminggiran peran perempuan di dalam pengelolaan sumber daya alam telah menciptakan feminisasi pemiskinan struktural yang berdampak terhadap berbagai ketimpangan ekonomi hingga berujung pada feminisasi migrasi kerja yang eksploitatif.
Inisiatif kolektif perempuan dalam aksi adaptasi dan mitigasi iklim justru tidak pernah diakui dan dilindungi negara. Alih-alih menciptakan kebijakan dan program yang berkeadilan, persoalan proyek energi solusi palsu iklim justru telah memperluas konflik di tengah masyarakat.
Discussion about this post