Baca Juga: Putusan PTUN Inkracht, Walhi Desak Izin Usaha PLTU Tanjung Jati A Dicabut
“Keadilan iklim yang sejak empat dekade lalu banyak disuarakan aktivis di berbagai belahan dunia, akhirnya masuk dalam dokumen-dokumen resmi IPCC,” kata Torry yang meneliti dokumen IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) Assessment Report 6.
Keadilan iklim tak boleh diabaikan apabila dunia ingin sukses menahan laju perubahan iklim. Jika ketimpangan bisa dikikis, maka adaptasi dan mitigasi iklim bisa disinergikan. Jika keadilan iklim bisa dijalankan, maka masyarakat akan bisa beradaptasi. Jika adaptasi iklim bisa dilakukan, maka akan menghasilkan masyarakat yang adil.
Baca Juga: Lima Tokoh Bergelar Pahlawan Nasional pada 7 November
IPCC Assessment Report adalah laporan yang diterbitkan Panel Antarpemerintah di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mempelajari masalah perubahan iklim dari sisi ilmiah, teknis, dan sosial-ekonomi. Laporan kini sudah memasuki seri ke-6 yang dirilis pada akhir Februari 2022. Laporan setebal 3.675 halaman tersebut salah satunya memberikan panduan pentingnya memperluas partisipasi publik dalam menyusun kebijakan iklim, sehingga aksi dan mitigasi iklim dapat berdampak bagi semua.
Torry menjelaskan, keadilan iklim bisa terjadi apabila pemerintah membuka partisipasi publik (rekognisi) dari kelompok rentan agar mereka bisa efektif beradaptasi dengan perubahan iklim dan mencegah maladaptasi. Partisipasi ini perlu dijamin oleh prosedur hukum untuk memberikan keadilan yang lebih bagi kelompok rentan. Sebab mereka yang paling terkena dampak dari bencana iklim.
Baca Juga: Agar Lebih Gercep Penanggulangan Bencana, BNPB Latih 38 Pejabat Jawa Timur
“Prinsipnya yang paling menderita harus menerima manfaat lebih besar daripada manfaat yang diterima orang rata-rata supaya ketimpangan bisa ditangani,” imbuh Torry.
Pendiri dan Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum JENTERA, Bivitri Susanti, menilai partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan, terutama kelompok rentan perlu dibuka dengan luas dan bebas dari tekanan.
“Perlu perubahan yang transformatif agar suara-suara kelompok rentan benar-benar ditampung dalam kebijakan,” ujar Bivitri.
Baca Juga: Gempa Skala Magnitudo 5 Guncang Ternate dan Saumlaki
Selama ini, suara publik banyak diabaikan dalam pembuatan hukum atau kebijakan. Di tingkat kebijakan soal kelapa sawit dan perpajakan, misalnya, keputusan politik diambil kelompok oligarki yang kental isinya dengan kepentingan mereka. Di tingkat perumusan undang-undang dan lembaga peradilan, oligarki sudah menutup rapat kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi. Seperti proses penyusunan UU Cipta Kerja yang problematik.
Belakangan, hakim konstitusi yang berinisiatif memperbaiki UU Cipta Kerja justru dicopot dari posisinya. Kondisi ini menegaskan, bahwa partisipasi publik, juga suara kelompok rentan, tidak diakomodasi secara sungguh-sungguh dalam pembuatan kebijakan. Meskipun dalam banyak hal tak ada aturan dan prosedur yang dilanggar pemerintah. Partisipasi publik dibuka, tapi hanya sekadar formalitas dan permukaan. Partisipasi publik dilakukan dengan teknokratis yang sekadar menggugurkan syarat-syarat teknis saja.
Baca Juga: Dampak Hujan Hari Ini, 23 Provinsi Siaga dan Waspada
“Jadi, walaupun aturannya legal, tapi belum tentu benar,” ujar Bivitri.
Tim Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Siti Rakhma Mary Herwati menilai, ketidakadilan iklim ini terbentuk karena ketimpangan kuasa dan ada privilese bagi kalangan industri ekstraktif. Imbasnya ditanggung masyarakat kelompok rentan. Misalnya penggusuran, pencemaran udara, hingga kerusakan lingkungan.
Seperti kasus Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditangani LBH berdampak besar pada kelompok rentan, karena proses rancangannya tidak melibatkan partisipasi publik. Misalnya, di kawasan pantai utara Jawa (Pantura) masyarakat sering ditimpa banjir, tapi pembangunan infrastruktur jalan terus. Di Manado, reklamasi dilakukan tanpa mengajak bicara masyarakat.
Baca Juga: Dampak Banjir Seratusan Warga Langkat Mengungsi
“Jika protes, malah dikriminalisasi,” kata Rahma.
Dalam kasus ini, banyak aspek HAM yang dilanggar. Misalnya hak informasi, hak rasa aman, serta hak atas air lingkungan dan pangan. Ia menilai, pemerintah malah anomali menjadikan perubahan iklim sebagai isu strategis. Di sisi lain juga memberi jalan bagi industri ekstraktif yang menyebabkan naiknya gas rumah kaca. [WLC02]
Discussion about this post