Wanaloka.com – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama Lembaga Terranusa Indonesia, Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT) dan Jaringan Advokasi Tanah Adat (Jagad) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil melakukan aksi geruduk Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) ke-11, yang diselenggarakan mulai 17-19 September 2025 di Jakarta Convention Centre (JCC).
Aksi ini merupakan respons atas upaya pemerintah Indonesia yang terus menggenjot pengembangan sumber energi dari panas bumi yang justru menghadirkan petaka bagi warga dan lingkungan. Dalam aksi hari ini, sejumlah warga dari berbagai wilayah terdampak proyek panas bumi yang hendak menyampaikan fakta-fakta di ruang pertemuan mengalami kekerasan fisik. Mereka didorong, dipukul, dan ditarik paksa keluar dari ruang pertemuan saat hendak menyampaikan fakta-fakta yang selama ini diabaikan, bahkan ditutup-tutupi oleh pemerintah.
Sikap ini menunjukkan negara tidak hanya menutup telinga dari suara warga, tetapi juga aktif menyingkirkan kebenaran yang tidak sesuai dengan narasi transisi energi yang mereka bangun.
Baca juga: Seruan Aksi Iklim di 35 Kota di Indonesia dan 97 Negara Jelang KTT Iklim Brasil
“Ketika suara korban dianggap ancaman, maka transisi itu bukan solusi, melainkan proyek kekuasaan yang menindas,” tegas Divisi Kampanye Jatam, Alfarhat Kasman dalam siaran tertulis tertanggal 17 September 2025.
Saat ini, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan 356 prospek tambang panas bumi di jalur cincin api Indonesia yang sangat rentan terhadap risiko bencana. Per September 2025, sebanyak 63 wilayah daratan Indonesia ditetapkan menjadi Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang mencaplok 3.570.769 hektare, sebagian besar berada di kawasan hutan.
Konvensi Geothermal Internasional yang sejak 2018 dihelat di Indonesia, ditengarai Koaliasi Masyarakat Sipil adalah arena berkumpulnya para pelaku perusakan lingkungan dan kemanusiaan. Mereka berkumpul dalam forum itu diduga untuk kembali merayakan brutalitas aparatus penjaga kekuasaan terhadap warga korban proyek ideologis panas bumi. Sekaligus menyusun agenda untuk melancarkan rencana penyemaian bencana terorganisir dan memperluas kerusakan ruang hidup warga sejak industri tambang panas bumi masuk ke kampung-kampung warga.
Baca juga: Atasi Banjir Bandang dengan Memperbanyak Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan
Warga Poco Leok, Mataloko, dan beberapa wilayah lingkar tambang panas bumi lainnya datang ke konferensi tersebut untuk menyatakan bahwa industri tambang panas bumi (geothermal) bukanlah solusi untuk perubahan iklim. Sebaliknya, dalih pemerintah yang menyatakan pembangunan panas bumi sebagai solusi mitigasi iklim yang rendah karbon justru mengorbankan keselamatan hidup warga.
Eksploitasi bentang alam dan air, kerusakan kualitas udara dan air yang meracuni tubuh manusia, serta pendudukan paksa atas ruang-ruang hidup warga adalah sejumput bukti industri tambang panas bumi adalah industri kotor. Menjaga kampung halaman dari agresi dan operasi industri tambang panas bumi ini merupakan bagian terpenting dan tak tergantikan.
Perampasan ruang dan penyemaian bencana terorganisir
Perampasan hutan dan kebun milik komunitas adat untuk berbagai proyek ekstraktif di tubuh kepulauan Indonesia turut merampas kedaulatan komunitas adat. Perampasan ini tak dapat hanya dibaca sebagai sekadar pengambilalihan lahan, melainkan penghancuran sistem kehidupan yang telah terbangun secara kolektif dan lintas generasi. Komunitas adat yang selama ini menjaga hutan, mata air, dan situs-situs sakral dipaksa menyerahkan ruang hidupnya melalui skema perizinan yang tidak transparan dan manipulatif.
Baca juga: Komisi III DPR Desak Penegak Hukum Usut Aktor Besar Tambang Ilegal di Manokwari
Jika ruang adat dirampas, maka kedaulatan komunitas pun ikut dilucuti. Masyarakat adat kehilangan hak untuk menentukan cara hidup, sistem nilai, hingga arah kebijakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip lokal. Negara, alih-alih menjadi pelindung, justru memfasilitasi bahkan menjadi aktor perampasan dengan mengesahkan proyek melalui regulasi yang mengabaikan partisipasi bermakna.
Dalam konteks ini, pemaksaan kehadiran proyek panas bumi dapat dipandang sebagai bentuk kolonialisme baru yang menghapus identitas, merusak relasi ekologis, dan meminggirkan komunitas dari sejarahnya sendiri.
Dampak destruktif itu nyata di berbagai lokasi operasi tambang panas bumi. Di Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara, selain mengancam sumber air, lahan persawahan, dan pemukiman penduduk, operasi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) telah menewaskan delapan orang dan 350 orang lainnya keracunan terpapar gas H2S. Di Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah operasi PT Geo Dipa telah menewaskan dua orang, dan puluhan lainnya keracunan gas H2S akibat kebocoran berulang.
Baca juga: Pourfect 60, Permudah Barista Menyeduh Kopi V60 secara Efisien dan Konsisten
Di Pengalengan, Jawa Barat, operasi ekstraksi panas bumi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu yang dikelola PT Stars Energy menyebabkan satu kampung bernama Cibitung hilang.
Peristiwa pada 5 Mei 2015 itu juga menyisakan luka dan trauma bagi lebih dari 200 warga Cibitung yang kehilangan enam warga akibat tewas tertimbun, tiga warga dinyatakan hilang hingga saat ini, enam orang luka berat, tujuh luka ringan, dan ratusan jiwa terpaksa menjadi pengungsi di kampung halaman sendiri. Di hari nahas tersebut, hujan yang sangat lebat memicu tanah longsor yang menyebabkan pipa panas bumi meledak.
Meski mengalami kebocoran berulang, tak ada upaya dari Kementerian ESDM untuk menghentikan operasi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) di Mandailing Natal dan PT Geo Dipa di Dieng. Kementerian yang dikomandoi Bahlil Lahadalia ini tak pernah satu kali pun menunjukkan keseriusan untuk mengevaluasi seluruh proyek panas bumi di Indonesia yang kerap mengalami kebocoran dan menghentikan seluruh operasinya.
Baca juga: Jangan Diam Melihat Kerusakan Lingkungan agar Dampak Karhutla Tak Meningkat
Juga tak pernah berupaya mengevaluasi secara serius seluruh operasi proyek panas bumi di lokasi dengan tingkat kerawanan bencana yang sangat tinggi. Ini menunjukkan nalar pemerintah yang lebih mengutamakan keuntungan finansial dibandingkan nyawa dan keselamatan warga.
Di Mataloko, Flores, operasi PT PLN Geothermal kerap mengeluarkan semburan lumpur di kebun-kebun milik warga, yang meluas hingga radius 2.000 m2. Bau belerang menguasai udara.
“Setiap dini hari, warga dipaksa menghirup aroma belerang dalam setiap tarikan napas,” ungkap Ricardo dari SP NTT.
Baca juga: Pabrik PMT Disegel karena Ekspor Udang Beku Terkontaminasi Cesium, Ini Kata Pakar
Manifestasi lumpur panas tersebut juga memicu tenggelamnya lahan persawahan, mencemari air, munculnya penyakit kulit, dan amblesan tanah di sekitar pemukiman penduduk.
Di tengah gencarnya promosi panas bumi sebagai sumber energi terbarukan, masyarakat Indonesia perlu mengetahui bahwa eksplorasi dan ekstraksi panas bumi untuk pembangkitan listrik bukanlah tanpa risiko serius.
Berbagai proyek tambang panas bumi telah berulang kali terbukti memicu gempa picuan yang terus disangkal pemerintah. Banyak ilmuwan internasional yang berhasil membuktikan adanya korelasi antara aktivitas ekstraksi panas bumi dengan gempa dan telah dipublikasikan di berbagai jurnal ilmiah internasional untuk menjadi rujukan.
Baca juga: Belajar Konsisten Menjaga Hutan dari Masyarakat Adat
“Jatam telah berulang kali memperingatkan ihwal keterkaitan aktivitas ekstraksi panas bumi dengan kejadian gempa picuan. Namun, Kementerian ESDM tak pernah menggubris dan berbagai instansi pemerintah lainnya ikut menyangkal, bahkan abai,” kata Alfarhat.
Hingga saat ini, tak ada satu pun penyelidikan ilmiah tentang keterkaitan aktivitas panas bumi dengan gempa, seperti yang terjadi pada gempa Cianjur pada 2022 lalu, dilakukan dengan sungguh-sungguh baik oleh pemerintah maupun institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Ini menunjukkan pemerintah benar-benar abai dan menyangkal adanya potensi marabahaya besar dari aktivitas ekstraksi panas bumi yang mengancam keselamatan warga.







Discussion about this post