Transisi energi seharusnya menjadi momentum untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang telah dirusak oleh eksploitasi usaha skala besar yang rakus. Bukan malah memperluas dampak buruknya. Ia menambahkan langkah yang tepat adalah memperkuat sistem perlindungan lingkungan hidup dan sosial agar transisi energi benar-benar berkeadilan dan berkelanjutan.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Yuyun Harmono menambahkan portofolio AZEC selama ini menunjukkan dukungan yang lebih besar terhadap infrastruktur energi fosil dan solusi palsu dibandingkan dengan energi terbarukan.
Laporan dari Zero Carbon Analytics tahun 2024 mengungkapkan hanya 11% dari 158 Nota Kesepahaman (MoU) di bawah AZEC yang terkait dengan energi dari angin dan surya. Sedangkan, 56 MoU (35%) melibatkan teknologi bahan bakar fosil, seperti LNG, co-firing amonia, dan CCS.
Baca juga: Hutan Ulu Masen di Aceh Jadi Lokasi Riset Aksi Atasi Konflik Gajah dan Manusia
Dukungan AZEC terhadap solusi palsu seperti co-firing PLTU, CCS/CCUS dan gas fosil untuk pembangkit hanya akan memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil dan menjauhkan dari upaya dekarbonasi dan transisi yang adil.
“AZEC seharusnya berperan menjadi bagian dari solusi untuk mendorong berkembangnya energi terbarukan di Indonesia bukan justru memperparah dalam fossil lock-in,” terang Yuyun.
Sementara, Juru Kampanye Energi Trend Asia, Novita Indri menyoroti pendekatan Jepang melalui AZEC yang dinilai justru menghambat upaya global dalam mengatasi krisis iklim. Melalui AZEC, Jepang masih saja menggelontorkan dukungan pembiayaan solusi palsu ke negara-negara di ASEAN termasuk Indonesia.
“Lagi-lagi Jepang berupaya menggagalkan Komitmen Iklim dunia yang telah disepakati,” ujar Novita.
Ia menegaskan langkah tersebut hanya akan memperparah dampak krisis iklim yang tengah berlangsung. Di tengah kepemimpinan baru Jepang, seharusnya ambisi untuk memperkuat dukungan terhadap energi terbarukan menjadi prioritas utama, bukan malah membiayai proyek-proyek yang memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil.
Baca juga: Varian Virus Influenza Berbeda, Respons Kekebalan Tubuh Berpotensi Lambat
Divisi Kajian dan GIS Walhi Jakarta, M. Abdul Baits menyampaikan kekhawatirannya terhadap pendekatan yang diambil Jepang dan pemerintah Indonesia dalam proyek tersebut. Proyek AZEC yang digagas Jepang diimplementasikan di Indonesia yang juga mendorong skema, baik melalui biomassa, hidrogen dan amonia di pembangkit listrik berbasis fosil bukanlah sebuah solusi terhadap krisis iklim.
“Melainkan kamuflase untuk memperpanjang umur penggunaan batu bara dan gas seperti di Suralaya, Lontar dan Muara Karang,” tegas Abdul Baits.
Pembangkit listrik berbasis energi fosil masih mendominasi pasokan listrik di Jakarta, sehingga pembakaran batu bara dan gas akan terus berlangsung. Dampaknya, warga Jakarta akan terus menghadapi ancaman polusi udara yang membahayakan kesehatan dan kualitas hidup.
170 MoU terkait AZEC
KTT ke-28 itu menandai kelanjutan dari kemitraan strategis yang telah terjalin selama lebih dari lima dekade antara ASEAN dan Jepang. Presiden Prabowo Subianto yang hadir menyoroti perlunya menjaga transisi energi sebagai prioritas strategis. Ia juga menyambut baik kemitraan Jepang dalam pengembangan energi bersih, termasuk hidrogen, mobilitas listrik, dan bahan bakar berkelanjutan.
Baca juga: Mitigasi Kebakaran Lahan Gambut Lewat Pendekatan Ekohidrologi
“Ini penting untuk mewujudkan visi bersama kami,” kata Prabowo.
Dalam pertemuan sebelumnya, 4 Mei 2025, Prabowo menerima kunjungan Utusan Khusus Perdana Menteri Jepang, yang juga mantan Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, beserta delegasi di kediamannya di Kertanegara, Jakarta, Minggu malam, 4 Mei 2025.
Kishida menyampaikan surat dari Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba. Salah satu isinya terkait proyek-proyek AZEC. Kedua pihak juga membahas perkembangan proyek kerja sama dalam kerangka AZEC. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, saat ini Indonesia memiliki lebih dari 170 MoU dengan Jepang.
Esok harinya, dilakukan penandatanganan financial closing terhadap proyek 80 MW geothermal di Muara Laboh, Sumatra Barat dengan investasi sekitar 500 juta USD. [WLC02]
Sumber: Walhi, BPMI Setpres
 
			





 
                                    
Discussion about this post