Baca juga: Bambang Hero, 1-2 Pohon Tumbang Itu Alami, Kalau Akibatkan Longsor Itu Ulah Manusia
“Penting untuk diketahui bahwa di Papua, apa yang disebut bencana sosial-ekologis akibat industri ekstraktif itu banyak sekali, dan ini sudah berlangsung sejak 1960-an sampai hari ini. Hanya saja, sangat jarang diliput oleh media, sehingga banyak orang Indonesia yang tidak tahu. Praktik yang dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap orang Papua sebetulnya untuk menyukseskan keberlanjutan industri rakus ini. Bukan untuk orang Papua dan orang Indonesia kebanyakan. Tapi untuk sedikit orang-orang super kaya, yang dikemas lewat nasionalisme Indonesia,” ujarnya.
Dari sudut pandang, mahasiswa asal Aceh-Muhammad Risyad Hanafi, menyatakan, hilangnya tutupan hutan, ekspansi industri ekstraktif hingga lemahnya perlindungan terhadap keselamatan warga menunjukkan bagaimana kerusakan ekologis merupakan hasil langsung dari pembiaran dan perizinan yang permisif.
Menukil data Greenomics, kata Risyad, dalam rentang tahun 2009-2014, terdapat izin pelepasan kawasan hutan sebesar 1,64 juta hektar, atau setara dengan dua puluh lima kali luas Jakarta.
“Kerusakan ekologis di Aceh dimulai sejak tambang emas dibuka oleh kolonial Belanda di Woyla, Aceh Barat. Orde Baru memperluas praktik tersebut lewat migas, dengan terus mengabaikan hak-hak warga Aceh. Jika dilihat dari kasus ini, perlawanan warga Aceh dalam bentuk apapun terlihat masuk akal,” katanya.
Baca juga: Perkembangan Bibit Siklon Tropis 93S dan 91S, Waspada Hujan Lebat dan Gelombang Tinggi
Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Syahrial Adi Putra (Persaudaraan Pekerja Regional Medan). Menurutnya, perampasan kekayaan Pulau Sumatera diperluas sejak Orde Baru dilanjutkan oleh rezim kekuasaan abad ke-21 lewat Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), PSN dan UU Cipta Kerja.
“Perusahaan-perusahaan di sektor usaha ekstraktif telah lama merusak Sumatra Utara lewat perkebunan dan tambang. Mereka merusak struktur sosial dan hubungan ekologis masyarakat, melalui perampasan lahan, deforestasi, intimidasi dan kriminalisasi warga. Praktik ini yang membawa bencana sosial-ekologis di Pulau Sumatera hari ini,” tegasnya.
Dalam siaan pers forum diskusi “Petaka Keruk#3”, kegiatan tersebut ditutup dengan pernyataan bahwa bencana ekologis hari ini bukanlah peristiwa alamiah atau takdir, melainkan sebagai akibat dari pilihan politik jangka panjang yang harus dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Indonesia. [WLC01]






Discussion about this post