Senin, 22 Desember 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Mengenal Polychaeta, Cacing yang Cantik dan Tak Menjijikkan

Kesan pertama tentang cacing yang terbersit pasti morfologinya jelek. Tapi kalau searching di Google dengan kata kunci ‘the most beautiful worms in the world’, niscaya akan menemukan sejumlah cacing yang indah dan cantik.

Senin, 10 Maret 2025
A A
Cacing Polychaeta. Foto Joko Pamungkas/BRIN.

Cacing Polychaeta. Foto Joko Pamungkas/BRIN.

Share on FacebookShare on Twitter

Yang mencengangkan, cacing yang bisa ditemukan di Selat Lembeh, Sulawesi Utara, ini menjadi predator bagi ikan dan gurita, yang ukuran tubuhnya lebih besar dari cacing tersebut.

“Mungkin kita sering berpikir bahwa cacing itu lemah, tetapi ada satu spesies yang dikenal mampu hidup pada habitat yang sangat ekstrim di laut dalam. Jadi, di laut dalam itu ada sumber air panas (ventilasi hidrotermal) yang panasnya mencapai 300–400 derajat Celsius,” jelas dia.

Baca juga: Gempa Dangkal Guncang Aceh dan Luwu Timur

Cacing-cacing berbentuk seperti lipstik (Riftia pachyptila dari famili Siboglinidae) dengan panjang 2–3 meter yang termasuk salah satu cacing terpanjang dan terbesar itu mampu hidup dan beradaptasi. Mereka tidak memiliki saluran pencernaan, tetapi bersimbiosis dengan bakteri, melakukan kemosintesis untuk mendapatkan makanan.

Srcara umum, dua predikat yang paling melekat pada cacing adalah ‘menjijikan’ dan ‘sumber penyakit’. Namun, ini tidak sepenuhnya berlaku untuk Polychaeta. Di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia, cacing Polychaeta menjadi kuliner yang dikonsumsi masyarakat lokal.

Yup, hewan tersebut adalah cacing laor atau wawo yang muncul di perairan Ambon dan sekitarnya, dan nyale yang muncul di perairan Lombok dan sekitarnya. Alih-alih menjadi sumber penyakit, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hewan tersebut mengandung protein yang cukup tinggi!

Baca juga: Mengenal Otter yang Ramai Dipelihara, Lucu, Liar, Dilindungi dan Berisiko

“Karena saat muncul dalam jumlah besar, mereka sebetulnya sedang melangsungkan perkawinan massal, sehingga tubuhnya penuh sperma dan ovum yang kaya akan protein. Jadi yang dimakan oleh penduduk lokal sebetulnya bukan daging, tapi sel kelamin cacing,” jelas Joko.

Mirip dengan wawo dan nyale, cacing laut jenis Odontosyllis enopla (Syllidae) diketahui muncul dalam jumlah besar setiap bulan pada saat musim panas di perairan pesisir Bermuda, Inggris, untuk bereproduksi.

Saat muncul, biota laut ini mengeluarkan senyawa bernama lusiferin yang membuat tubuhnya berpendar hijau. Alhasil, pemandangan di pesisir pantai menjadi eksotis dimana air laut terlihat berkilauan akibat cahaya yang dipendarkan oleh cacing-cacing tersebut.

Baca juga: Kesiapan Lahan dan Pengelolaan Sampah oleh Pemda Kunci Pengendalian Banjir Jabodetabek

Sejarah mengungkap bahwa Christopher Columbus pernah menyaksikan fenomena ini saat mengelilingi dunia. Ia mencatat keberadaan cahaya-cahaya kecil di air laut yang menyerupai cahaya lilin. Fenomena ini, yang dikenal dengan istilah marine bioluminescence, menjadi daya tarik tersendiri bagi para turis untuk menikmati pemandangan malam yang indah di sekitar pantai.

Cacing yang memiliki nilai ekonomi

Bertolak belakang dengan kelompok cacing parasit, Polychaeta ternyata memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Alitta virens (Nereididae), misalnya, menjadi jenis yang dibudidayakan di Inggris dan Belanda serta menjadi komoditi ekspor (cacing tersebut digunakan sebagai umpan pancing).

“Polychaeta adalah cacing yang dapat menghasilkan cuan,” tegas Joko.

Di Indonesia, khususnya Jawa, Perinereis aibuhitensis (Nereididae) dan Diopatra claparedii (Onuphidae) banyak diambil dari alam untuk dijual sebagai umpan pancing. Sementara itu, Perinereis nuntia (Nereididae) didomestikasi oleh sejumlah perusahaan untuk dimanfaatkan sebagai pakan induk udang kaki putih (Penaeus vannamei dari famili Penaeidae).

Baca juga: Agar Operasi Modifikasi Cuaca Tak Berdampak Buruk di Wilayah Lain

Polychaeta jenis tertentu memiliki nilai ekologi sebagai bioindikator pencemaran perairan pesisir. Sebagai contoh, Capitella capitata (Capitellidae) menjadi bioindikator pencemaran bahan organik di daerah subtropis, sedangkan Capitella ambonensis (Capitellidae) di daerah Ambon.

Sementara dari hasil penelitiannya, D. claparedii merupakan jenis Polychaeta yang dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran logam berat. Sebab punya kemampuan mengakumulasi logam berat melebihi biota laut lainnya.

Saat ini, data di World Register of Marine Species (WoRMS) mendokumentasikan ada sekitar 12.000 jenis Polychaeta yang termasuk ke dalam 1.400 genera dan 80 suku yang telah dideskripsi di dunia. Dari 12.000 jenis, Indonesia hanya berkontribusi 300 jenis. Padahal, Indonesia adalah bagian dari Segitiga Terumbu Karang, zona yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia.

Baca juga: BNPB Pastikan Kebutuhan Dasar Warga Terdampak Banjir Jabodetabek Terpenuhi

“Nah, dari sekitar 300 jenis tersebut, hampir seluruhnya dideskripsi oleh ilmuwan Eropa, dan spesimennya sebagian besar justru disimpan di Naturalis Biodiversity Center di Leiden, Belanda, bukan di Indonesia,” tambah dia.

Data terkini (Maret 2025) menunjukkan bahwa koleksi spesimen Polychaeta yang disimpan di Museum Zoologicum Bogoriense (MZB), Cibinong, Bogor, termasuk yang paling sedikit jika dibandingkan dengan koleksi invertebrata lainnya, yakni hanya sekitar 300-an nomor katalog.

Minimnya taksonom dan penelitian di bidang taksonomi Polychaeta di Indonesia menjadi akar permasalahan dan tantangan tersendiri. Saat ini Joko masih menjadi single fighter alias satu-satunya ilmuwan Indonesia yang konsisten menekuni taksonomi Polychaeta. Ia bertekad untuk tidak menyerah dan akan terus berupaya mengungkap keanekaragaman biota laut tersebut dan potensinya di Indonesia. [WLC02]

Sumber: BRIN

Terkait

Page 2 of 2
Prev12
Tags: BRINcacing lautCacing Polychaetacacing tanahJoko Pamungkas

Editor

Next Post
Penolakan atas proyek pertambangan yang merusak lingkungan. Foto ilustrasi AI.

Walhi Laporkan 47 Korporasi Perusak Lingkungan dan Korupsi SDA ke Kejakgung

Discussion about this post

TERKINI

  • Masyarakat adat Awyu, Papua mengajukan permohonan kasasi ke MA terkait upaya mempertahankan kelestarian hutan Papua. Foto Dok. Walhi Papua.Walhi Papua Tolak Rencana Prabowo Buka Perkebunan Sawit di Papua
    In News
    Rabu, 17 Desember 2025
  • Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di kawasan Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur. Foto Soetana Hasby/Wanaloka.com.Terancam Punah, DIY Didesak Terbitkan Larangan Perdagangan Monyet Ekor Panjang
    In News
    Selasa, 16 Desember 2025
  • Evakuasi warga terdampak banjir di Bali pada Minggu, 14 Desember 2025. Foto BNPB.Banjir di Bali Menewaskan Seorang Turis Mancanegara
    In Bencana
    Senin, 15 Desember 2025
  • Penanganan darurat bencana Sumatra, pengerukan Sungai Aek Doras, Kota Sibolga, Sumatra Utara. Foto BNPB.Bencana Sumatra, Korban Tewas Mencapai Seribu Lebih
    In Bencana
    Senin, 15 Desember 2025
  • FAMM Indonesia bersama Kaoem Telapak menggelar "FAMM Fest: mempertemukan Suara, Seni, dan Rasa" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam rangka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) pada 10 Desember 2025.Perempuan di Garis Depan Krisis Ekologis
    In News
    Sabtu, 13 Desember 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media