Di kawasan ini, tim menemukan populasi penyu dari Kwatisore dan Pulau Yapen punya komposisi genetik yang berbeda meski secara geografis tidak terlalu berjauhan.
Apa yang menyebabkan perbedaan itu?
Ternyata jawabannya adalah arus laut. Selama musim angin barat laut, arus laut bertindak seperti pagar alami, menghalangi pertukaran genetik antarpopulasi. Akibatnya, penyu dari wilayah satu dan lainnya berkembang dengan jalur evolusi masing-masing. Mereka seperti dua saudara yang tinggal di desa berbeda dan tumbuh dengan budaya sendiri-sendiri.
Baca juga: Menjaga Mangrove Lewat Stop Buang Sampah, Terbitkan Regulasi dan Gandeng Kampus
Pemetaan ini membagi populasi penyu lekang ke dalam beberapa klad. Salah satu klad besar terdiri dari lima lokasi di Indonesia bagian barat seperti Aceh, Pariaman, Panggul, Serangan, dan Tuafanu dan punya koneksi genetik dengan populasi dari India. Sementara klad lainnya ditemukan di timur Indonesia yakni Kapoposang, Pulau Yapen, dan Teluk Cendrawasih.
Australia sendiri ternyata berbagi sebagian besar haplotipe dengan wilayah Indonesia.
“Bayangkan betapa menakjubkan seekor penyu yang bertelur di pesisir Papua ternyata punya ikatan genetik dengan sepupu jauhnya di pesisir barat India,” ungkap Begin.
Baca juga: Wilayah Tektonik Kamchatka Mirip Pantai Barat Sumatra, Pantai Selatan Jawa dan Utara Halmahera
Dasar merumuskan konservasi
Temuan-temuan ini bukan hanya jadi catatan ilmiah semata. Ia memberi pesan yang tegas, konservasi tak bisa disamaratakan. Populasi penyu dengan genetik berbeda tentu membutuhkan pendekatan yang juga berbeda. Ini seperti meracik obat yang tidak semua pasien bisa disembuhkan dengan resep yang sama.
Konservasi yang selama ini mengandalkan model umum, kini harus lebih presisi. Di daerah dengan keragaman genetik tinggi, strategi pelestarian harus fokus menjaga variasi agar tak hilang. Sebaliknya, di wilayah dengan pertukaran genetik rendah, perlu pendekatan yang bisa menjaga populasi agar tak menyusut akibat perkawinan sedarah atau jumlah individu yang terlalu sedikit.
“Fakta ini mengingatkan bahwa penyu kita tidak bisa lagi diperlakukan sebagai satu populasi tunggal. Mereka unik. Mereka punya identitas genetik masing-masing,” kata dia.
Baca juga: Muka Air Laut di Wilayah Indonesia Naik di Bawah 0,5 Meter Usai Gempa M8,7 Rusia, Berbahayakah?
Dan bila satu populasi punah, misalnya di Teluk Cendrawasih, maka haplotipe yang hanya ada di sana bisa hilang selamanya. Tidak bisa digantikan oleh populasi dari Aceh, apalagi dari Australia, inilah urgensi konservasi berbasis genetika.
Pengetahuan tentang struktur genetika ini membuka pintu untuk menyusun rencana konservasi yang lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Tak hanya menjaga lingkungan, upaya ini juga menyentuh ranah ekonomi lokal, budaya pesisir, hingga industri pariwisata yang bertumpu pada keindahan laut.
Dengan pendekatan ini, Begin menyimpulkan, konservasi tak lagi sekadar menjaga agar penyu tetap hidup. Namun memastikan mereka tetap menjadi bagian dari simfoni laut tropis yang utuh, lestari, dan diwariskan hingga generasi mendatang. [WLC02]
Sumber: IPB University
Discussion about this post