Wanaloka.com – Sekitar 300 warga dari Desa Wayamli dan Yawanli, Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara berkumpul di Desa Pekaulang menuju ke Kantor Perwakilan PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Desa Baburino, Senin, 28 April 2025. Mereka menyuarakan penolakan aktivitas pertambangan di tanah adat mereka, karena kegiatan pertambangan itu merusak lingkungan.
Warga mendesak pencabutan izin usaha pertambangan PT STS, pemulihan atas hak-hak warga, masyarakat adat, dan lingkungan, serta bertanggung jawab atas penggusuran lahan kebun kelapa mereka di Dusun Memeli, Desa Pekaulang. Namun, warga dicegat puluhan personel Polres Halmahera Timur yang dibackup sekitar 20-30 anggota Brimob.
Setelah terlibat adu mulut dan saling dorong dengan aparat kepolisian, sekitar pukul 16.00 WIT, petugas Brimob melepaskan tembakan gas air mata sebanyak 10 kali ke arah warga yang sedang berkumpul.
Baca juga: Neng Eem, Nasib Masyarakat Adat Terlunta-lunta di Tanah Sendiri
“Tembakan gas air mata ini diarahkan langsung ke kerumunan warga tanpa ada peringatan terlebih dahulu,” kata Perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Maba Tengah, Halmahera Timur, Gufran Kahar dalam siaran tertulis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), 29 April 2025.
Beberapa warga yang terlibat dalam aksi mengalami luka-luka akibat tembakan gas air mata. Mulyadi Palangi, misalnya, terkena tiga tembakan di bahu dan lengan atas, Riski Boway terkena tembakan di kaki dan Sulandra Asri di jemari tangan. Tindakan ini juga menyebabkan trauma psikologis bagi ibu-ibu dan anak-anak yang ikut dalam aksi.
Kekerasan negara-korporasi terhadap warga dan ruang hidupnya tak hanya berlangsung hari ini. Sebelumnya, Sabtu, 26 April 2025, polisi juga merepresi warga Wayamli. Warga dipaksa pulang, bahkan sebagian diborgol polisi saat sedang berjaga di lokasi wilayah adat yang telah digusur PT STS.
Baca juga: Bulan Purnama, Waspada Potensi Banjir Rob di Pesisir Surabaya Hingga 5 Mei 2025
Peristiwa ini bermula ketika warga menerima informasi, bahwa perusahaan tambang nikel PT STS telah kembali beroperasi di hutan, wilayah adat Qimalaha Wayamli. Lalu sekitar pukul 15.30 WIT, sekitar 13 orang utusan warga Wayamli ke lokasi untuk melakukan pengecekan.
Ironisnya, polisi yang datang langsung meminta warga untuk pulang. namun warga bersikeras bertahan untuk menjaga wilayah adat Qimalaha. Polisi lantas melakukan pemaksaan hingga sebagian warga harus diborgol, lalu dipulangkan.
Rentetan kejadian ini menandakan betapa kejahatan struktural terhadap rakyat terus berlangsung. Di mana polisi justru berfungsi sebagai alat kekuasaan bagi korporasi yang merusak lingkungan dan menggusur tanah adat.
Baca juga: Ada 15 Titik Semburan Lumpur Panas Muncul di Mandailing Natal
“Polisi yang seharusnya melindungi hak-hak warga, malah menggunakan kekuatan brutal untuk membungkam aspirasi mereka. Elit lokal juga terkesan berdiam diri, membiarkan kejahatan ini terus berlanjut, tanpa ada upaya nyata untuk menghentikan kekerasan terhadap rakyat,” kata Julfikar Sangaji dari Simpul Jatam Maluku Utara.
Sementara Kapolda Maluku Utara, Irjen Pol Waris Agono menanggapi aksi penolakan tambang PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Halmahera Timur dengan dalih regulasi kehutanan dan prosedur administratif pengakuan masyarakat adat.
“Pernyataan ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga mengabaikan substansi konflik yang sedang dihadapi warga. Ada perampasan tanah, pencemaran lingkungan, dan kekerasan negara,” tegas Kepala Divisi Hukum Jatam, Muh Jamil.
Baca juga: Gamahumat akan Diuji Coba untuk Memperbaiki Kesuburan Tanah di Lahan Bekas Tambang
Lima catatan represi terhadap warga Haltim
Terkait peristiwa tersebut, Jatam dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyampaikan catatan tegas.
Pertama, Menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak kostitusional warga, bukan tindak kriminal.
Aksi warga empat desa ini adalah bentuk pelaksanaan hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Baca juga: Akademisi dan LBH se-Jawa Ajukan Permohonan Informasi Publik Soal Pengelolaan PLTU ke KLH
Hak ini juga dilindungi dalam Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik (diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005), UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Namun dalam konteks politik hukum saat ini yang dikuasai segelintir elit berlatar belakang pebisnis ekstraktif, termasuk tambang nikel, fenomena SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) terus berkembang. SLAPP digunakan untuk membungkam dan menghukum warga yang memprotes daya rusak tambang, padahal mereka tengah menjalankan hak yang dijamin konstitusi.
Terlebih, perjuangan lingkungan hidup memiliki perlindungan khusus. Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menyatakan, bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Baca juga: Bencana Karhutla 244 Hari, Apel Kesiapsiagaan Karhutla 2025 Digelar
“Jadi tidak ada dasar hukum memanggil 20 warga dengan tuduhan menghalangi kegiatan tambang sebagaimana tertera dalam surat panggilan polisi,” tegas Edy Kurniawan dari YLBHI.
Menurut Edy, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa surat panggilan tersebut adalah bentuk kriminalisasi dan SLAPP, yang melibatkan kolusi antara aparat kepolisian dan korporasi tambang perusak ruang hidup rakyat.
Kedua, Kapolda jadi alat kepentingan korporasi tambang.
UU Nomor 9 Tahun 1998 secara tegas mengatur, bahwa sanksi maksimal yang dapat diberikan aparat penegak hukum terhadap aksi unjuk rasa yang tidak memenuhi syarat hanyalah pembubaran massa. Kegagalan aparat kepolisian dalam melakukan pengamanan aksi tidak bisa dijadikan dasar untuk melakukan kekerasan dan mengkriminalisasi warga melalui surat panggilan polisi.
Discussion about this post