Baca juga: Izin Pinjam Pakai Hutan untuk Tambang Nikel di Pulau Kecil Wawonii Dicabut
“Kontroversi lingkungan bisa membuat investor ragu dan merusak reputasi Indonesia sebagai negara yang ramah lingkungan,” jelas Rossanto.
Ketidaksinkronan antar lembaga pemerintah dalam mengelola izin tambang juga dinilai dapat memperburuk kepercayaan investor.
Pakar ekonomi itu menekankan pentingnya kebijakan hilirisasi yang seimbang antara eksploitasi dan keberlanjutan. Proses hilirisasi, jika dilakukan dengan benar, dapat meningkatkan nilai ekspor dan mendorong transfer teknologi. Namun, ia mengingatkan agar dampak lingkungan tetap menjadi perhatian utama.
Baca juga: Status Awas Lagi, Tinggi Kolom Abu Erupsi Lewotobi Laki-laki Capai 10 Km Lebih
“Kalau lingkungan rusak, wisatawan hilang, nelayan kehilangan mata pencaharian, dan generasi mendatang hanya mewarisi kerugian,” tutur dia.
Dekan Fakultas Biologi UGM, Prof. Budi Setiadi Daryono mendesak pemerintah untuk menghentikan aktivitas penambangan di pulau-pulau kecil yang berpotensi merusak biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Sebab, pulau kecil dengan kondisi ekologi yang khas, merupakan kekayaan yang dapat diperbarui namun dengan daya dukung pulau tergolong terbatas sehingga risikonya amat tinggi.
“Pulau kecil memiliki ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan. Ekosistemnya sangat unik. Begitu dia dieksploitasi maka dampaknya langsung terasa,” terang dia, Senin, 23 Juni 2025.
Baca juga: Teknik Alternate Wetting and Drying Hasilkan Padi Berkualitas dan Rendah Karbon
Bagi Budi, kegiatan tambang tidak hanya merusak ekosistem di daratan namun juga ekosistem di lautan. Sebab, dampak sedimentasi dapat memperkeruh perairan sehingga menurunkan penetrasi cahaya matahari ke laut yang berakibat mematikan bagi ekosistem laut seperti lamun, ganggang, mikroalga, dan terumbu karang.
Selain itu, penggunaan bahan kimia dalam proses tambang juga menimbulkan polusi air.
“Akhirnya, polusi air ini akan kembali kepada manusia melalui rantai makanan laut akibat biota yang terpaksa hidup pada perairan berpolusi,” imbuh dia.
Baca juga: Dokumen Second NDC Disusun, Menhut Minta Lebih Realistis dan Teknokratis
Tidak berhenti sampai di situ, aktivitas tambang juga memicu pencemaran suara dan cahaya hingga dapat mempengaruhi perilaku spesies. Bagi makhluk hidup tertentu seperti penyu, ia akan cenderung menjauhi cahaya kuat sehingga tidak akan mendarat untuk bertelur.
Begitu pula dengan hiu paus yang akan terganggu pola istirahatnya. Bisingnya penambangan akan menjadi polusi suara, terutama bagi hewan yang pendengarannya sangat sensitif seperti burung dan serangga.
“Raja Ampat adalah melting point untuk recovery biota saking alaminya. Tempat seperti ini sudah sangat langka di dunia dan sudah seharusnya semua pihak punya kesadaran untuk menjaga,” tegas dia.
Baca juga: Maryati Surya, Tupai dan Bajing Itu Tak Sama
Seperti diketahui, wilayah seperti Raja Ampat menjadi salah satu contoh ekosistem laut paling utuh di dunia. Dengan lebih dari 550 jenis karang dan 1.400 spesies ikan, kawasan ini berfungsi sebagai zona pemulihan alami bagi biota laut. Jika rusak akibat tambang, kerugiannya bukan hanya ekologis, tetapi juga ekonomi. Ekosistem yang terus dijaga sehat dan lestari justru bisa mendatangkan manfaat besar lewat pengembangan ekowisata dan perikanan berkelanjutan.
Menurut Budi, Raja Ampat seharusnya diarahkan pada sektor pengembangan ekowisata dan perikanan berkelanjutan, bukan pertambangan. Dua sektor yang ia sebutkan ini, memberikan distribusi ekonomi yang langsung dinikmati masyarakat lokal daripada pertambangan.
“Konsep kesejahteraan tambang kurang merata dibanding perikanan dan ekowisata apabila didorong maju pemerintah,” kata dia.
Baca juga: Gedung Backup Sistem Peringatan Dini Multi Bahaya Beroperasi 24 Jam Merespons Bencana
Budi menilai masyarakat dan pemerintah perlu menjaga keberadaan ekosistem dan keanekaragaman hayati bukan sekadar wacana lingkungan, melainkan soal kelangsungan hidup generasi kini dan mendatang. Diperlukan kebijakan yang mengedepankan pendekatan berkelanjutan yang berpihak pada rakyat, agar pembangunan tidak merusak lingkungan tetapi justru memperkuat fondasi kesejahteraan jangka panjang.
“Apalagi kearifan lokal dan adat istiadat budaya kita secara luhur menanamkan kecintaan ekologi dengan bertanggung jawab,” kata dia.
Klaim pulau-pulau kecil tanpa dokumen sejarah
Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang memasukkan empat pulau milik Aceh, yakni Pulau Panjang, Mangkir Besar, Mangkir Kecil, dan Lipan ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, memicu konflik serius dengan Aceh. Konflik bisa dicegah usai keputusan itu dibatalkan.
Baca juga: Pro Kontra Isu Tambang Nikel, Kemenpar Sebut Raja Ampat Aman Dikunjungi
Pakar Geografi Lingkungan IPB University, Rina Mardiana menilai, polemik ini merupakan cerminan lemahnya tata kelola spasial dan administrasi di Indonesia.
“Kemendagri seharusnya mencari dokumen-dokumen sejarah terlebih dahulu. Bukan hanya mengandalkan koordinat geografis. Ini sangat ahistoris dan politis sekali,” ujar Dosen IPB University di Fakultas Ekologi Manusia ini.
Ia merujuk pada berbagai bukti historis. Mulai dari peta topografi TNI tahun 1978, kesepakatan bersama pemda Sumut dan Aceh 1988. Hingga SK Mendagri No. 111/1992 tentang Penegasan Batas Aceh-Sumut berlandaskan peta 1978 yang menyatakan keempat pulau tersebut berada di wilayah Aceh. Namun, semua itu diabaikan dalam keputusan awal Kemendagri.
Baca juga: Komnas HAM Menduga Kuat Ada Pelanggaran HAM Aktivitas Pertambangan di Raja Ampat
Tak hanya menyoroti proses administratif, Rina juga menggarisbawahi ada potensi besar sumber daya alam di wilayah tersebut, khususnya cadangan gas di cekungan Andaman. Potensi minyak dan gas (migas) di wilayah ini sangat signifikan dan berdekatan dengan Blok Singkil yang kini dikelola Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) bersama Conrad Asia Energy.
“Secara geologis, wilayah ini berada dalam jalur formasi yang sama dengan sumber-sumber migas Andaman. Artinya, ada potensi yang sama,” jelas Rina yang juga pengajar di Divisi Kependudukan, Agraria, dan Ekologi Politik, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.
Namun penyelesaian cepat kasus ini justru menimbulkan pertanyaan baru: mengapa konflik serupa di Rempang dan Raja Ampat tidak mendapat perhatian yang sama?
Baca juga: Sahil Jha, Bersepeda Sambil Mengampanyekan Penyelamatan Tanah di 20 Negara
Ia mencontohkan, di Rempang-Batam, masyarakat masih bingung menghadapi dualisme kepemimpinan antara Wali Kota Batam (regulator) yang sekaligus merangkap sebagai Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam yang merupakan operator investasi.
“Ketika datang, rakyat bertanya. Bapak sebagai ayah kami atau wakil perusahaan? Kalau sebagai walikota berarti orang tua kami, kalau sebagai BP Batam menjadi perpanjangan investasi. Ini dualisme yang membingungkan,” kritik Rina.
Kebingungan ini diperparah dengan ketidakpastian hak atas tanah masyarakat adat atau masyarakat lokal dan arah proyek strategis nasional yang dipandang tidak menguntungkan masyarakat setempat. Secara tegas, ia menyebut konflik di Rempang menunjukkan lemahnya kejelasan administrasi pertanahan dan keberpihakan terhadap masyarakat adat.
Baca juga: Anak Muda Diajak Berwisata di Taman Nasional dan Taman Wisata Alam
Di Papua, situasinya bahkan lebih kompleks. Menurut Rina, relasi Papua dan Jakarta terkait kue ekonomi dirasakan belum berkeadilan. Terlebih jika pihak asing ikut membonceng gerakan separatis Papua dan pemerintah tidak serius merespon, hal ini dapat mengancam kedaulatan nasional.
“Kalau diprovokasi negara yang berbatasan dan punya kepentingan, bisa fatal. Luka sejarah di Papua berbeda. Kalau Aceh isunya referendum, di Papua isunya pelepasan wilayah,” ujar dia.
Rina memperingatkan, tanpa administrasi kadastral pulau kecil dan tanpa praksis menghidupi wilayah pulau kecil, Indonesia bisa kehilangan kedaulatan seperti kasus Sipadan-Ligitan.
Pulau-pulau kecil saat ini menjadi incaran investasi, baik untuk eksplorasi migas maupun pariwisata. Namun, pemerintah kerap mengabaikan identitas dan hak masyarakat adat yang telah hidup turun-temurun di wilayah tersebut.
Baca juga: Anggota DPR Ingatkan Pemerintah Tak Ugal-ugalan Menerbitkan Izin Tambang
“Batam, Rempang dan Galang diarahkan jadi ‘Singapore 2’ dan apapula ‘New Maldives’ di Kepulauan Seribu. Tapi pemerintah lupa identifikasi pemilik asli: masyarakat adat atau masyarakat lokal dan sejarah penghidupan yang memperkuat relasi sosioagraria antara manusia dan tanah,” tambah dia.
Menurut dia, seharusnya perhatian harus tetap tertuju pada nasib pulau-pulau di wilayah lain seperti Rempang, Bintan dan Raja Ampat Papua yang hingga kini masih terkatung-katung tanpa kejelasan.
Solusinya, Rina mengusulkan beberapa langkah strategis. Pertama, percepat Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pulau-pulau kecil. Menurut dia, seluruh wilayah, terutama pulau-pulau kecil, harus segera dipetakan secara menyeluruh agar tidak ada lagi wilayah ‘abu-abu’.
Baca juga: Tak Semua Izin Tambang di Raja Ampat Dicabut, Walhi Sebut Pemerintah Setengah Hati
Kedua, hapus dualisme kewenangan. Ia menegaskan bahwa pemerintah harus memisahkan peran regulator dan operator investasi.
“Pemimpin daerah tidak boleh menjadi perpanjangan tangan investor,” tegas dia.
Ketiga, perlakuan setara untuk semua daerah. Resolusi cepat untuk Aceh harus menjadi preseden, bukan pengecualian. Wilayah seperti Rempang dan Papua juga berhak atas penyelesaian adil dan cepat, tanpa harus menunggu konflik meluas.
Terakhir, ia mendorong tata kelola spasial yang kolaboratif dan demokratis. Saran Rina, setiap penetapan batas wilayah harus melibatkan dialog yang inklusif dengan masyarakat lokal dan berdasarkan kajian historis serta sosio-kultural.
Baca juga: Enam Temuan Baru Greenpeace Ungkap Rencana Besar Industri Nikel di Raja Ampat
“Kalau hanya Aceh yang ditangani cepat, sementara Rempang dibiarkan bergolak, ini namanya kebijakan timpang. NKRI butuh konsistensi,” tegas Rina.
Menurut dia, polemik empat pulau di Aceh seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola wilayah, terutama terhadap pulau-pulau kecil yang selama ini luput dari perhatian.
“Indonesia harus menunjukkan bahwa keadilan wilayah bukan hanya milik daerah yang memiliki kekuatan politik, tapi hak semua rakyat tanpa kecuali,” tegas dia. [WLC02]
Sumber: DPR, Unair, UGM, IPB University
Discussion about this post