Studi penggunaan tenaga listrik yang memanfaatkan potensi energi terbarukan, dan membangun kebiasaan yang mendukung pengurangan emisi karbon dalam industri otomotif diharapkan mampu mendorong komitmen dekarbonisasi Indonesia.
“Penguatan ekosistem ini tentu melibatkan edukasi dan kesadaran masyarakat yang merupakan tugas perguruan tinggi,” kata Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, Prof. Wening Udasmoro.
Seminar ini turut menggandeng perguruan tinggi lain, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Universitas Diponegoro, Universitas Udayana, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Baca Juga: Konservasi Tanah dan Air Kunci Keberlanjutan Masa Depan Bumi
Kolaborasi tersebut ditujukan untuk membangun integrasi yang kuat guna bersama meluncurkan inovasi ramah lingkungan, khususnya di bahan bakar dari energi terbarukan. Dosen Fakultas Teknik UGM, Prof. Sarjiya menekankan target pengurangan emisi karbon sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 40 persen dengan bantuan internasional dibutuhkan alternatif yang dapat menjadi pengganti, tetapi tidak menimbulkan persoalan di bidang sosial-ekonomi.
“Kenapa energi itu menjadi fokus utama? Penyumbang emisi karbon terbesar itu urutan pertama adalah kehutanan, kedua adalah energi. Jadi di sektor energi, kami perlu menurunkan sampai 358 juta ton emisi. Jadi kami perlu memikirkan alternatif apa yang bisa dimaksimalkan peluangnya. Maka Hidrogenlah salah satu peluang,” tutur Sarjiya.
Komitmen penurunan emisi tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat sehari-hari. Tak dapat dipungkiri, kebutuhan mobilisasi era kini terlampau tinggi dalam penggunaan transportasi berbahan bakar fosil. Strategi yang perlu dibangun adalah tidak hanya beralih ke energi terbarukan, tetapi juga menyeimbangkan kebutuhan masyarakat.
Baca Juga: Masyarakat Sipil Serukan Pemerintah Stop Bakar Hutan untuk Bioenergi, Mengapa?
Berdasarkan data Kementerian ESDM, penggunaan bahan bakar fosil masih menduduki peringkat pertama. Berbanding terbalik dengan konsumsi, produksi bahan bakar tersebut justru semakin menurun karena berkurangnya ketersediaannya di alam. Sedangkan di sektor energi, penyumbang emisi paling besar adalah pembangkit listrik (243 juta ton), disusul transportasi (161,6 juta ton), dan industri (100,7).
Strategi yang dilakukan Kementerian ESDM adalah berupaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, karena ingin mencapai target NZE dan menciptakan lapangan pekerjaan hijau. Kemudian mengejar target dekarbonisasi dengan mengembangkan pasar hidrogen domestik. Saat ini, sebagian besar hidrogen diproduksi dari gas bumi.
“Jika kami mencapai keduanya, nantinya Indonesia bisa mengekspor hidrogen dan turunannya ke pasar global dengan memanfaatkan keunikan sebagai negara maritim,” ucap Direktur Bidang Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna. [WLC02]
Sumber: Kementerian ESDM, UGM
Discussion about this post