“Intensitas bencana alam akan semakin sering terjadi. Sedangkan bencana alam erat kaitannya dengan kemiskinan. Tidak sedikit rumah tangga yang jatuh ke lingkaran kemiskinan akibat bencana alam. Apabila kondisi ini terus dibiarkan terjadi, bukan tidak mungkin tujuan mencapai Indonesia bebas dari kemiskinan semakin jauh,” papar Dodo.
Ia menegaskan, tidak ada satupun negara yang aman dari efek percepatan perubahan iklim. Indonesia harus melakukan berbagai aksi mitigasi dan adaptasi secara komprehensif dan terukur untuk menahan laju perubahan iklim.
Baca Juga: Refleksi 9 Tahun Menteri Siti Nurbaya di Hari Bakti Rimbawan
Mitigasi dan adaptasi menjadi urusan bersama, tidak hanya pemerintah. Melainkan juga semua sektor harus terlibat mulai dari swasta dan dunia usaha, akademisi, pers atau media, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum.
“Semua harus terlibat tanpa terkecuali,” imbuh Dodo.
Perlu Payung Hukum
Sementara usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Perubahan Iklim sebagai payung hukum menjadi pembahasan di DPR. Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay menilai RUU tersebut diperlukan agar dapat mengatur lebih komprehensif, terarah, dan sistematis terkait regulasi perubahan iklim.
“Efektivitas pengelolaan perubahan iklim juga sangat bergantung pada kebijakan dan implementasinya di semua tingkat, baik internasional, regional, nasional, dan subnasional,” ujar Saleh dalam Diskusi Panel “Urgensi Pengaturan Pengelolaan Perubahan Iklim Sebagai Upaya untuk Menyelamatkan Bumi” pada 16 Maret 2023.
Baca Juga: Gempa Dangkal Laut Selatan Jawa Mag 5,2 Guncangannya Dirasakan di Tiga Provinsi
Selama ini, aturan-aturan yang ada dinilai masih terkesan sporadis, tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan lain, dan kurang komprehensif. Menurut Saleh, perlu harmonisasi peraturan dari tingkat perundang-undangan, termasuk peraturan pemerintah pusat dan daerah.
“Biar tidak terjadi tumpang tindih pengaturannya,” imbuh anggota Badan Musyawarah DPR itu.
Salah satu rumusan penting yang ditawarkan dalam RUU tersebut adalah konsep perencanaan, pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pengelolaan perubahan iklim akan dilaksanakan secara terpadu dalam koordinasi badan independen yang langsung di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.
“Juga ada sinergi pemerintah pusat dengan daerah dalam pengelolaan perubahan iklim. Jadi kebijakan perubahan iklim tidak hanya di kota besar, tetapi sampai ke wilayah pedalaman dan pulau-pulau kecil,” jelas Saleh.
Baca Juga: Longsor di Kampung Sirna Sari Bogor 17 Orang Tertimbun, Warga Harus Direlokasi
Peningkatan suhu global yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir turut mendongkrak jumlah bencana terkait dengan cuaca dan air, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan sebagainya. Menurut data Dana Moneter Internasional (IMF), sebanyak 390 bencana alam terkait dengan perubahan iklim sepanjang 2021. Jumlah tersebut juga meningkat 5,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 369 bencana alam.
Sementara berdasar laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 3.531 peristiwa bencana alam di Indonesia sepanjang 2022. Bencana yang paling banyak terjadi pada 2022 adalah banjir, yakni 1.524 kejadian. Jumlah ini setara 43,1 persen dari total kejadian bencana nasional.
Ada pula 1.062 peristiwa cuaca ekstrem, 634 tanah longsor, 252 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 28 gempa bumi 26 gelombang pasang/abrasi, serta 4 peristiwa kekeringan. Provinsi yang paling sering mengalami bencana alam pada 2022 adalah Jawa Barat 823 kejadian, Jawa Tengah 486 kejadina, dan Jawa Timur 400 kejadian.
Seluruh kejadian bencana tersebut mengakibatkan lebih dari 5,49 juta orang menderita dan mengungsi, 851 orang meninggal dunia, 8.726 orang luka-luka, dan 46 orang hilang. [WLC02]
Discussion about this post