Namun tantangan terbesar terletak pada implementasi dan pengawasan terhadap regulasi ini. Pemerintah daerah diharapkan melakukan pengawasan secara ketat untuk memastikan bahwa setiap kawasan industri mematuhi ketentuan ini.
Baca juga: GeoAI, Sistem Prediksi Suhu Permukaan Bumi untuk Adaptasi Iklim
Langkah ini dinilainya penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan menyediakan habitat serta sumber makanan bagi serangga seperti kupu-kupu di tengah pesatnya pembangunan.
“Perlu kebijakan yang bijak dan terintegrasi antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan demi menjaga keanekaragaman hayati, termasuk keberlangsungan hidup kupu-kupu,” kata dia.
Punah sebelum teridentifikasi
Kondisi yang sama juga terjadi pada lebah. Terkait ancaman aktivitas manusia, Pakar Entomologi IPB University yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof. Damayanti Buchori juga menceritakan penelitian yang dilakukan Perhimpunan Entomologi Indonesia bersama beberapa peternak lebah.
Baca juga: BMKG Catat 2024 Jadi Tahun Terpanas
Hasil riset tersebut menunjukkan indikasi menurunnya populasi lebah di berbagai wilayah Indonesia. Lebih dari separuh (57 persen) peternak lebah yang menjadi responden mengaku pernah mengalami kejadian di mana populasi lebah ternak mereka berkurang drastis atau bahkan punah.
Di luar negeri, fenomena ini dikenal sebagai Colony Collapse Disorder (CCD) yang bisa dipicu beberapa faktor yang bersamaan mempengaruhi populasi lebah. Seperti serangan parasit tungau, pestisida (khususnya dari golongan neonicotinoid), dan perubahan iklim.
“Di Indonesia belum pernah ada penelitian mengenai CCD ini, tapi pengaruh negatif dari pestisida neonicotinoid telah dibuktikan sangat beracun bagi lebah,” ungkap dia.
Baca juga: Januari-April 2025, Pengaduan ke Ditjen Penegakan Hukum Kehutanan Capai 90 Kasus
Di Amerika Utara dan beberapa negara Eropa sudah ada data mengenai menurunnya populasi lebah. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan. Bagaimana dengan Indonesia? Sangat disayangkan Indonesia belum memiliki data ini.
Damayanti menyebut, data dasar (baseline information) terkait populasi lebah secara nasional belum ada, apalagi kalau bicara tentang wildbee (lebah liar di alam).
“Populasi lebah di Bogor saja kita tidak tahu. Padahal tanpa data ini, kita tidak bisa memastikan apakah sedang terjadi penurunan atau tidak,” ucap dia.
Baca juga: Proyek Panas Bumi di NTT Ditolak Warga, Kementerian ESDM Gandeng UGM
Keberadaan serangga sebagai penyangga ekosistem kini berada dalam ancaman serius. Faktor yang paling berkontribusi antara lain perubahan iklim dan aktivitas manusia.
Ia menegaskan bahwa perubahan iklim dan aktivitas manusia telah berkontribusi besar terhadap kepunahan spesies serangga yang belum sepenuhnya diketahui manusia.
“Perubahan iklim membuat serangga harus beradaptasi. Bagi yang bisa, mereka bertahan. Tapi bagi yang tidak, mereka akan punah,” tegas Kepala Pusat Kajian Sains Keberlanjutan dan Transdisiplin IPB University ini.
Baca juga: Masih Satu Juta Kubik Abu Gunung Marapi, Kementerian PU Bangun 9 Sabo Dam
Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak dari aktivitas manusia yang mengubah bentang alam secara masif. Perubahan tata guna lahan (land use change) yang dilakukan secara besar-besaran telah menyebabkan hilangnya habitat alami bagi banyak serangga.
“Baru-baru ini pemerintah sempat menyebutkan bahwa hutan itu untuk kepentingan pangan dan energi. Apakah ini artinya tidak ada lagi tempat buat biodiversitas? Ini bahaya sekali,” tegas dia.
Bahkan banyak spesies serangga punah sebelum sempat diidentifikasi.
“Kita baru mengenal satu juta spesies serangga, padahal diperkirakan jumlahnya mencapai lima juta. Banyak yang sudah punah sebelum dikenali, bahkan tidak kita ketahui,” ungkap dia. [WLC02]
Sumber: IPB University
Discussion about this post