Wanaloka.com – Gelombang penolakan atas kebijakan pembukaan lahan hutan seluas 20 juta hektare dengan dalih mendukung ketahanan pangan dan energi terus menguat. Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang ingin melakukan perluasan perkebunan kelapa sawit untuk meningkatkan ekspor komoditas produk minyak kelapa sawit ke luar negeri dinilai akan memicu kembalinya deforestasi.
Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) Prof. Budi Setiadi Daryono menolak keras upaya penambahan perkebunan kelapa sawit yang akan mengancam kembalinya kerusakan hutan dan biodiversitas.
“Kami menolak keras rencana Presiden tersebut. Banyak riset menyatakan di kawasan perkebunan sawit tidak mampu menjadi habitat satwa liar dan hampir nol persen keragaman hayati berkembang di perkebunan sawit,” kata Budi Daryono dalam keterangan tertulis, Jumat, 10 Januari 2025.
Baca juga: Awal 2025, Bencana Hidrometeorologi Menerjang dari Aceh hingga Gorontalo
Selama ini, dampak dari perkebunan sawit yang sangat luas dengan model monokultur ternyata rentan meningkatkan konflik satwa liar dengan manusia. Akibatnya, populasi satwa liar yang dilindungi undang-undang, seperti orangutan, gajah, badak dan harimau Sumatera berkurang.
“Flora dan fauna yang dilindungi semakin berkurang karena deforestasi akibat pembukaan perkebunan sawit,” ujar dia.
Budi mengingatkan, Prabowo sebaiknya menjalankan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin baru dan Penyempurnaan Penyempurnaan tata Kelola Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Baca juga: Pemagaran Laut di Tangerang Dihentikan, Komisi IV: Selidiki Pihak yang Bertanggung Jawab!
“Dari inpres tersebut, seluas 66, 2 juta Ha hutan alam dan lahan gambut atau seluas negara Perancis dapat diselamatkan dari kerusakan,” kata dia.
Budi juga menginginkan agar pemerintah konsisten menjalankan aturan yang sudah dibuat terkait Inpres Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan.
Sementara pernyataan Prabowo yang menyamakan tanaman kelapa sawit dengan tanaman hutan, menurut Budi merupakan pernyataan yang menyesatkan publik. Sebab, secara tegas sudah ada peraturan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sebelumnya menyebutkan bahwa sawit bukan tanaman hutan.
Baca juga: Kementerian ESDM Pangkas Persyaratan Perizinan Pengusahaan Air Tanah
“Peraturan Menteri LHK Nomor P.23/2021 menyatakan, bahwa sawit bukan termasuk tanaman rehabilitasi hutan dan lahan,” tegas Budi.
Budi berpesan agar Prabowo dalam menyampaikan pendapatnya lebih berhati-hati agar tidak menyebabkan pro kontra di masyarakat, apalagi menyesatkan. Ia menyarankan agar mekanisme rencana penyusunan kebijakan terutama yang berdampak besar terhadap masyarakat dan lingkungan hidup serta berimplikasi global seharusnya dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan melibatkan Kementerian dan Lembaga terkait, pakar, praktisi, dan civil society.
“Dengan begitu dapat diprediksi dampak dari kebijakan baru, baik bagi kepentingan masyarakat, lingkungan dan ekonomi secara nasional,” terang dia.
Baca juga: Bibit Siklon Tropis 97S Menguat, Waspada Cuaca Ekstrem Tiga Hari ke Depan
Anggota pengarah Komite Indek Biodiversitas Indonesia (IBI)-KOBI Prof. Hadi Ali Kodra dan Wiratno juga mengingatkan agar Pemerintah berkomitmen terhadap kepentingan global melalui ratifikasi berbagai konvensi internasional. Antara lain United Nation Convention on Biological Diversity (UNCBD), incl. WHS & Biosphere Reserve; Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna (CITES); Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat (Ramsar Convention) Rio Declaration on Environment and Development (SDGs); Convention on Climate Change Nagoya Protocol Cartagena; dan Protocol ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.
Menurut mereka, Indonesia adalah negara megabiodiversity dunia bersama dengan Brazil dan Kongo. Apabila digabungkan dengan perairan laut, Indonesia memiliki Segi Tiga Karang Dunia atau Global Coral Triangle yang menempatkan Indonesia menjadi Nomor 1 dunia. Potensi biodiversitas yang dimiliki Indonesia seharusnya dilindungi, bukan untuk dirusak lewat kegiatan deforestasi.
Discussion about this post