Wanaloka.com – Krisis iklim menjadi masalah bersama seluruh negara di dunia. Sebagian negara maju telah memulai langkah mengatasi dampak perubahan iklim, sedangkan negara berkembang seperti Indonesia mengalami tantangan berbeda. Kondisi masyarakat yang belum memahami urgensi perubahan iklim, diperparah banyak misinformasi dalam isu ini. Center for Digital Society (CfDS) merilis riset beredarnya misinformasi dalam isu perubahan iklim pada serial Digitalk #61 dengan tema “Menangkal Misinformasi Krisis Iklim di Era Digital” pada Selasa, 30 Januari 2024.
“Riset ini dilatarbelakangi keprihatinan, bahwa misinformasi terkait lingkungan (krisis iklim) termasuk underrated. Saya kira juga penting, karena Indonesia memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia, menjadi rumah bagi sebagian besar mamalia dunia. Tapi ternyata 18 persen penyangkal krisis iklim dunia itu ada di Indonesia,” papar Peneliti dan Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Novi Kurnia.
Kelompok penyangkal krisis iklim ini dikhawatirkan akan menurunkan kesadaran masyarakat terkait urgensi krisis iklim. Novi mengungkapkan, umumnya kelompok penentang krisis iklim berpendapat bahwa krisis iklim terjadi karena hukum alam. Bukan sebagai dampak dari aktivitas manusia.
Baca Juga: Tiga Industri Strategis Incar Kekayaan Mineral Masa Depan
Opini yang diberikan juga banyak mengaitkan dengan unsur politik, kepercayaan, dan agama, dibanding sains. Kelompok penentang ini tidak hanya memproduksi konten-konten menyangkal krisis iklim, tapi juga terus berusaha memengaruhi opini publik melalui konten tersebut. Kondisi ini memberikan ancaman di tengah angka literasi digital masyarakat yang terbilang rendah.
CfDS melakukan survei terhadap 2.401 responden tentang tiga aspek, yakni pemahaman dan kesadaran tentang krisis iklim, pola konsumsi informasi, dan kemampuan literasi digital. Hasil temuan survei mengungkap 21,5 persen setuju dan 11 persen sangat setuju, bahwa krisis iklim disebabkan semakin banyak manusia yang melakukan maksiat dan tidak mematuhi agamanya.
Selanjutnya, 25 persen responden juga setuju bahwa ilmuwan yang meneliti krisis iklim dikendalikan kaum elit. Upaya dalam mengurangi bahan bakar fosil dianggap bertentangan dengan demokrasi. Temuan ini membuktikan anggapan skeptis masyarakat terhadap isu krisis iklim.
Baca Juga: Pakar Klimatologi BRIN Usul Bentuk Komite Cuaca Ekstrem
“Menarik bahwa misinformasi dengan tema politik dan pandemi, serta krisis iklim paling banyak ditemukan di media sosial,” ungkap Novi.
Discussion about this post