Dalam konteks Indonesia, Sukhyar melihat negara ini memiliki kekayaan mineral yang melimpah, tetapi masih terjebak dalam pola ekstraksi dan ekspor bahan mentah. Data ekspor nikel, tembaga, dan timah menunjukkan angka yang sangat tinggi dibandingkan pemanfaatannya dalam negeri. Menurut dia, perlu transformasi menuju industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah mineral dan menciptakan lapangan kerja baru.
Baca Juga; Sri Endah, RUU Masyarakat Adat Terlantar karena Pemerintah Tak Paham Konsep
“Salah satu tantangan utama hilirisasi adalah keterbatasan infrastruktur dan teknologi. Kita harus mengembangkan teknologi sendiri untuk mengolah mineral menjadi produk yang bernilai tambah,” kata Sukhyar dalam Seminar Jumat (Semat) edisi Kopi Sore Alumni (Spesial GEA 1973) bertema “Serba-serbi Dunia Tambang Indonesia” di Kampus Ganesha itu pada 31 Mei 2024.
Ia menyoroti pentingnya tata kelola pertambangan yang baik untuk memastikan keberlanjutan industri.
“Governance merupakan kunci. Kami harus memastikan kegiatan pertambangan dilakukan secara bertanggung jawab, sesuai dengan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan,” tutur dia.
Baca Juga; Tiga Kali Gempa Kuningan adalah Satu Rangkaian Sesar Ciremai
Ia memberikan beberapa rekomendasi untuk pengembangan sektor pertambangan Indonesia, seperti meningkatkan kapabilitas teknologi, mengembangkan industri hilir, dan menciptakan tata kelola yang transparan dan bertanggung jawab.
“Kami harus berani berubah dan menjadikan kekayaan mineral sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional,” imbuh dia.
Konsep ESG dalam Pertambangan
Dalam acara berbeda, General Manager Operasional PT Agincourt Resources (GMO PTAR), Rahmat Lubis mempunyai pandangan mengenai kegiatan pertambangan yang berkelanjutan di Indonesia, khususnya pada Martabe Gold Project.
Baca Juga; UU Masyarakat Adat adalah Janji Pilpres 2014 yang Belum Dipenuhi
“Urgensi pertambangan yang berkelanjutan adalah salah satu tantangan bagi lulusan Teknik Pertambangan saat ini,” kata Rahmat dalam kuliah umum Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM), Institut Teknologi Bandung (ITB) bertema “Pertambangan yang Berkelanjutan” di Gedung Kuliah Umum Timur (GKUT), ITB Kampus Ganesha pada tanggal 8 Maret 2024.
Rahmat Lubis membahas konsep Environmental, Social, and Governance (ESG) sebagai pedoman yang wajib dimiliki perusahaan, khususnya perusahaan tambang di Indonesia, agar dapat mencapai tujuan pertambangan yang berkelanjutan. ESG dijadikan tolok ukur dalam menilai dampak sosial dan keberlanjutan dari sebuah perusahaan.
Kriteria ESG terdiri atas kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan yang berkaitan dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Seluruhnya berdampak positif pada peningkatan reputasi dan nilai perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan. [WLC02]
Sumber: ITB
Discussion about this post