Minggu, 28 Desember 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Seruan Mengawal Revisi UU Kehutanan, Akhiri Anggapan Hutan Komoditas Milik Negara

Indonesia seharusnya bisa menata kelola hutan dengan memberi pengakuan penuh atas hak-hak masyarakat adat dan penduduk lokal sebagai penjaga hutan yang sah.

Rabu, 11 Juni 2025
A A
Pelabuhan Kayu PT Prabu Alaska di Kaimana Papua Barat. Hutan Papua masih terus digerus dan dibabat tanpa memperhatikan prinsip PADIATAPA. Foto Forest Watch Indonesia.

Pelabuhan Kayu PT Prabu Alaska di Kaimana Papua Barat. Hutan Papua masih terus digerus dan dibabat tanpa memperhatikan prinsip PADIATAPA. Foto Forest Watch Indonesia.

Share on FacebookShare on Twitter

Wanaloka.com – Rencana revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (RUUK) harus menjadi momentum perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Bahwa Indonesia tidak boleh lagi menggunakan paradigma kolonial yang menganggap hutan sebagai komoditas milik negara semata. Sebaliknya, Indonesia bisa menata kelola hutan dengan memberi pengakuan penuh atas hak-hak masyarakat adat dan penduduk lokal sebagai penjaga hutan yang sah.

Juru kampanye Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga menekankan, bahwa UU Kehutanan harus berubah secara total. Sebab sudah tidak relevan dengan tantangan kerusakan hutan yang mencapai rata-rata 689 ribu hektare per tahun serta perlindungan dan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat dan lokal.

“Jika tidak, Indonesia terancam gagal mencapai target pengurangan emisi di sektor FoLU,” kata Anggi dalam diskusi terbatas Forest Watch secara daring yang membahas rencana revisi UU Kehutanan yang telah masuk Prolegnas 2025, Senin, 9 Juni 2025.

Baca juga: Jatam Ungkap Deforestasi Pulau Gag Akibat Tambang Nikel Capai 262 Hektare

Anggi menekankan ada tiga pijakan utama dalam momentum RUUK yang harus berubah. Pertama, pentingnya mengubah paradigma kolonial yang tidak adil dalam memaknai hak menguasai negara. Klaim Kementerian Kehutanan atas 106 juta hektare wilayah daratan dan perairan ke dalam bentuk kawasan hutan milik negara adalah penetapan sepihak yang semata-mata hanya aspek legalitas saja.

Padahal dalam anotasi Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 tahun 2011, terdapat empat proses pengukuhan kawasan hutan, yakni penunjukan, penata batasan, pemetaan, dan penetapan.

“Pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan Kementerian Kehutanan cacat dalam proses penata batasan Kawasan,” ucap Anggi.

Baca juga: Presiden Hanya Cabut Izin Tambang Empat Perusahaan di Raja Ampat

Sebab meskipun kawasan hutannya legal, tetapi tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat adat dan lokal di tapak. Bahkan anomali penetapan kawasan hutan melonjak 20 kali lipat dalam setahun terakhir, yang biasa rata-rata per tahunnya hanya 500 ribu hektare.

Kedua, momen RUUK ini harus mampu menolak berbagai bentuk kamuflase pembangunan berkelanjutan, seperti program swasembada pangan dan energi yang justru menjadi alat legitimasi perusakan hutan secara terencana dan pengingkaran hak-hak masyarakat adat dan lokal.

Ketiga, RUUK harus secara tegas mengakomodasi dan mengimplementasikan putusan MK. Khususnya Putusan MK Nomor 34, 35, 45, dan 95, yang menjunjung tinggi hak-hak masyarakat adat dari proses pengukuhan kawasan hutan yang semena-mena serta dari praktik perizinan ekstraktif yang merusak.

Baca juga: Legislator Dapil Papua Desak Tertibkan Izin Tambang dan Hormati Masyarakat Adat Papua

Seruan aktivis hingga politisi

Berikut suara-suara seruan para aktivis di tapak dari barat hingga ke timur Tanah Air, juga akademisi dan politisi terkait revisi UU Kehutanan yang disampaikan dalam diskusi tersebut.

“Selama paradigma kolonial, bahwa hutan adalah milik negara masih dipertahankan, masyarakat adat Meratus akan terus dikorbankan demi izin ekstraktif. RUUK harus berpihak pada keadilan ekologis dan pengakuan utuh atas hak-hak masyarakat adat Meratus yang tersingkir karena wilayah adat mereka dijadikan kawasan hutan,” (Raden, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan)

Terkait

Page 1 of 2
12Next
Tags: Forest Watch Indonesiahutan milik negaraMasyarakat AdatRUU KehutananUU 41 Tahun 1999

Editor

Next Post
Tanggul di Pantai Muara Baru. Foto Kementerian PU.

Tanggul Laut Masih Jadi Solusi Pemerintah Atasi Rob di Pesisir Utara Jawa

Discussion about this post

TERKINI

  • Dua dari empat orangutan korban perdagangan ilegal yang dipulangkan dari Thailand, 23 Desember 2025. Foto Geopix.Empat Orangutan Dipulangkan ke Indonesia di Tengah Perusakan Hutan Sumatra
    In News
    Kamis, 25 Desember 2025
  • Konferensi Pers Climate Outlook 2026 di BMKG, 23 Desember 2025. Foto BMKG.Hasil Permodelan Kecerdasan Buatan, Iklim 2026 Bersifat Normal
    In News
    Rabu, 24 Desember 2025
  • Empat nelayan Pulau Pari yang menggugat Holcim demi keadilan iklim. Foto Walhi.Pengadilan Swiss Terima Gugatan Iklim Nelayan Indonesia Atas Holcim
    In News
    Selasa, 23 Desember 2025
  • Siklon tropis Grant, 23 Desember 2025. Foto BMKG.Waspada Gelombang Tinggi di Pesisir Selatan Akibat Siklon Tropis Grant
    In News
    Selasa, 23 Desember 2025
  • Ketua DPR RI, Puan Maharani. Foto Karisma/Istimewa.Puan Maharani Ajak Perempuan Pastikan Bumi Jadi Rumah Aman Bagi Generasi Masa Depan
    In Sosok
    Senin, 22 Desember 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media