Sementara Peneliti Pusat Riset Ekonomi, Industri, Jasa, dan Perdagangan BRIN, Roby Ardiwidjaja menanggapi, bahwa konsep ini sebagai pengembangan destinasi pariwisata berkelanjutan yang berkualitas. Ia menjelaskan dengan rinci hasil analisis situasi mengenai perkembangan pariwisata, berbagai isu-isu strategis, dan kebijakan pariwisata di tingkat global maupun nasional. Lalu tentang daerah-daerah destinasi slow travel tourism di dalam dan luar negeri. Hingga bagaimana formula dan implementasi strategi pariwisata di Indonesia.
Baca juga: Potensi Lumut Kerak untuk Bumbu Masakan hingga Antbiotik
Menurut Roby, kunci slow tourism adalah kerangka berpikir dari wisatawan itu sendiri. Baginya, hal-hal yang ingin didapatkan dari slow tourism adalah pengalaman nyata dan pengetahuan yang baru dari berwisata. Sementara salah satu isu strategis nasional yang perlu diperhatikan, bahwa umumnya berbagai pembangunan termasuk pembangunan pariwisata seringkali melupakan keberlanjutan.
Akibatnya, meningkatkan kerusakan lingkungan, degradasi budaya dan emisi gas buang. Ia melihat, penyelenggaraan pariwisata konvensional masih berfokus pada wisata massal. Saat terjadi perubahan tren wisatawan yang menuntut produk wisata menampilkan lokalitas, sehingga memicu munculnya konsep-konsep pariwisata baru. Salah satunya konsep slow tourism.
Hingga kini, slow tourism masih terus diteliti beberapa negara maju untuk dikembangkan sebagai konsep wisata yang berfokus pada upaya negasi terhadap kondisi wisata massal. Konsep ini masih terbuka untuk terus dikembangkan guna memperkuat aspek terminologi, definisi, dan konsep.
Baca juga: Kisah Petani Kopi Cibulao, Dari Penjarah hingga Penjaga Hutan
“Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pariwisata pun belum melakukan identifikasi produk-produk slow tourism,” ungkap Roby.
Kedua peneliti ini pun merumuskan, salah satunya pengolahan makanan. Ia mencontohkan implementasi strategi slow tourism melalui wisata kuliner dan gastronomi.
Hal itu dapat menumbuhkembangkan sumber daya tarik seni kuliner gastronomi lokal. Selain itu, mengembangkan ekonomi lokal dan peningkatan taraf hidup masyarakat lokal, melestarikan budaya dan lingkungan, serta meningkatkan kepuasan wisatawan memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru.
Baca juga: Mengamati Ratusan Trinil Semak Bersiap Mudik dari Tulungagung ke Eropa
Roby lantas menunjukkan bagan tata kelola destinasi pariwisata berkelanjutan yang sudah di-rekognisi oleh UN Tourism (Organisasi Pariwisata Dunia). Bahwa terdiri dari 4 pilar, 10 kriteria, 38 sub kriteria, 174 indikator. Semua berhubungan dengan 17 program SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan). Pedoman ini dapat digunakan sebagai contoh untuk membuat kebijakan pariwisata.
Kepala PRKP BRIN, Yanuar Farida Wismayanti mengatakan bahwa slow tourism merupakan konsep baru yang dapat mendukung keberlanjutan lingkungan.
“Jika diterapkan di Indonesia, konsep ini mungkin dapat mendorong dan mendukung kebijakan pariwisata berkelanjutan. Sebab inti dari konsep ini untuk memastikan keberlanjutan dari lingkungan dan lainnya. Jadi memastikan semuanya memang terjaga,” ujar dia. [WLC02]
Sumber: BRIN
Discussion about this post