Wanaloka.com – Indonesia terkenal dengan daerah-daerah tujuan destinasi wisata seperti Bali, Raja Ampat, dan lainnya. Namun, banyak tempat wisata yang tidak punya konsep ramah lingkungan. Ada beberapa negara yang telah mengenal konsep slow tourism dalam berwisata. Konsep ini memastikan adanya keberlanjutan lingkungan.
Peneliti Pusat Riset Kebijakan Publik (PRKP) Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Basuki Antariksa menjelaskan semula konsep slow tourism bukanlah terkait model kepariwisataan berkelanjutan. Melainkan muncul dan berkembang dari adanya gerakan slow food, sebagai sebuah aksi menyediakan makanan tradisional di jalanan oleh sejumlah pemerhati kota di Roma, Italia.
Gerakan itu muncul setelah didirikan restoran cepat saji yang menyimbolkan kecepatan dalam menyajikan makanan. Orang pun berpikir, bahwa yang menjadi masalah adalah kita melakukan sesuatu dengan terlalu cepat. Dari segi makanan pun, fast food sebetulnya tidak sehat. Justru lebih sehat makanan tradisional. Kemudian muncul aksi protes yang akhirnya menjadi dasar berkembangnya slow tourism.
Baca juga: Bunga Bangkai dan Julang Emas, Identitas Flora Fauna TWA Sibolangit
“Memang belum ada definisi baku dari slow tourism. Konsep ini pun bukanlah jenis wisata, tetapi sebuah pendekatan wisata yang tidak terburu-buru,” kata Basuki dalam program diskusi Elaborasi (Eranya Ngobrolin Public Policy) ke-14 yang diselenggarakan PRKP BRIN pada 13 Maret 2025. Diskusi tersebut membahas pengenalan slow tourism sebagai konsep, praktik, dan peluang kebijakan kepariwisataan berkelanjutan di Indonesia.
Bukan berarti pelan, tetapi melakukan aktivitas berwisata dengan kecepatan seperlunya.
Sebetulnya pula, slow tourism bukan musuh dari fast tourism, tetapi mass tourism. Lantaran slow tourism sebagai sebuah konsep yang sifatnya menyeluruh (holistik). Yakni berbicara tentang bagaimana kita mengurangi dampak terhadap lingkungan, berusaha berada lebih lama di destinasi wisata, membeli produk lokal, dan lainnya.
Baca juga: Atasi Sampah Plastik, The Bananabees ITB Ciptakan Pembalut dari Pelepah Pisang
Dengan begitu, seseorang dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, membantu perekonomian lokal, mendapatkan sesuatu yang bermakna, dan dapat menikmati wisatanya.
Namun membangun slow tourism pun ada tantangannya. Mengingat target pertumbuhan ekonomi yang tinggi, parameter keberhasilan kinerja pembangunan mengikuti standar internasional, isu kualitas hidup (termasuk kebahagiaan), juga masih bersifat marjinal.
Basuki memandang, konsep ini masih perlu perubahan perilaku wisatawan, juga orientasi dari pertumbuhan ekonomi menjadi pembangunan ekonomi, dan lainnya.
Baca juga: Kukuk Seloputo, Hantu di Cagar Alam Manggis Gadungan
Dari sisi kebijakan, konsep ini menentukan ada pembatasan jumlah kunjungan wisatawan, penggunaan berbagai alat ukur untuk pembatasan pertumbuhan di bidang kepariwisataan, mempertahankan lahan produktif, mendorong penggunaan sarana transportasi umum dan/atau ramah lingkungan, serta lainnya.
Kebiasaan saat ini, orang-orang berwisata dengan waktu yang sangat singkat. Akhirnya, bukan membuat senang malah menimbulkan stres. Arus utama kepariwisataan saat ini pun lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan pengembangan bisnis.
Discussion about this post