Wanaloka.com – Targetan Presiden Prabowo Subianto mewujudkan Indonesia mencapai swasembada pangan dalam kurun waktu 3-4 tahun mendatang dengan cara mencetak sawah baru hingga empat juta hektare selama menjabat, menurut Guru Besar Bidang Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UGM, Prof. Subejo bukanlah perkara mudah. Butuh kebijakan tepat untuk mendukung program tersebut, mengingat sektor pertanian sebagai penopang ketahanan pangan tengah menghadapi banyak tantangan.
Pertama, masifnya konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Di tengah isu perubahan iklim, konversi lahan menjadi ancaman serius dalam upaya peningkatan produksi padi untuk bahan pangan pokok masyarakat Indonesia. Kondisi ini menjadi ironi mengingat kebutuhan cetak lahan sawah diprediksi terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk dan permintaan padi.
Menurut Subejo, untuk mencapai swasembada pangan, pemerintah harus memiliki kebijakan dan program yang terintegrasi, mulai dari ekstensifikasi, intensifikasi, dan diversifikasi yang melibatkan berbagai lembaga dan kementerian di tingkat pusat dan daerah.
Baca Juga: Upaya Restorasi Lahan Gambut dengan Teknologi Paludikultur
“Ekstensifikasi atau pembukaan lahan baru bisa dilakukan dengan skala terbatas supaya manageable. Untuk daerah-daerah yang memiliki kesesuaian tinggi agar pengembangan komoditas pertanian dapat dilakukan,” kata Subejo, Selasa, 29 Oktober 2024.
Upaya mendesak yang perlu dikerjakan, menurut Subejo adalah melakukan intensifikasi di daerah basis produksi pangan. Selama ini, intensifikasi lahan masih kurang dari 200 persen. Artinya, baru ditanami kurang dari dua kali dalam satu tahun.
Dengan dukungan sistem irigasi yang baik, ia meyakini terbuka peluang untuk meningkatkan intensitas penanaman sampai dua kali. Bahkan untuk daerah tertentu yang ketersediaan airnya memadai bisa tiga kali tanam dalam waktu satu tahun.
Baca Juga: Populasi Perkotaan Capai 5 Miliar Tahun 2030, Perlu Penataan Ruang Pesisir
Distribusi logistik tidak merata
Tantangan kedua, harga jeblok ketika panen raya tiba. Masalah klasik yang terus berulang karena sistem distribusi logistik yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Subejo beranggapan hal mendesak yang perlu dilakukan adalah pengembangan sistem informasi produksi dan distribusi pangan, termasuk hortikultura, yang melibatkan multi-stakeholders. Nantinya dapat terdata dengan rinci jumlah dan sebaran produk pertanian serta distribusinya.
“Dengan sistem informasi, peluang distribusi produk lebih merata sehingga stabilitas harga dapat terjamin,” ujar dia.
Selain itu, juga perlu didorong industri pengolahan yang bermanfaat ketika produk mentah melimpah. Lalu dapat diproses, diawetkan dan tetap memiliki nilai ekonomi yang memadai.
Baca Juga: Ikhtiar Warga Balirejo Menjaga Kelestarian Kali Gajahwong
Yang tidak kalah penting, mengatasi keterbatasan literasi finansial di kalangan petani juga menjadi masalah yang harus segera ditemukan solusinya. Menggarap usaha tani tentunya membutuhkan modal yang tidak sedikit. Meskipun pemerintah sebetulnya memiliki program Kredit Usaha Rakyat (KUR), sayangnya program ini belum berjalan efektif di kalangan petani. Sebab pola pikir konvensional petani yang masih menganggap KUR merepotkan dan kurang bermanfaat.
Menurut Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat dan Kerja Sama Fakultas Pertanian UGM ini, integrasi pembiayaan sangat penting dengan sistem insentif bunga rendah. Semisal melalui kredit BUMN, CSR korporasi, pembiayaan dari pemerintah daerah, atau pembiayaan dari dana desa.
Discussion about this post