Wanaloka.com – Berdasarkan laporan Kementerian Kehutanan, luas lahan hutan di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 95,5 juta hektare atau 51,1% dari total daratan. Sementara angka deforestasi netto tahun 2024 tercatat sebesar 175,4 ribu hektar. Mayoritas deforestasi bruto terjadi di hutan sekunder dengan luas 200,6 ribu hektare (92,8%), dimana 69,3% terjadi di dalam kawasan hutan dan sisanya di luar kawasan hutan.
Fokus kebijakan saat ini bergeser pada restorasi hutan dan bekas tambang sebagai langkah krusial untuk memastikan pemulihan ekosistem secara berkelanjutan. Namun Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Prof. Widiyatno mengingatkan, bahwa pengelolaan hutan tidak bisa mengabaikan kemajuan teknologi, kepentingan ekonomi, dan kebutuhan pembangunan. Perlu mempertimbangkan kepentingan ekonomi dengan ekologi dalam pengelolaan hutan berkelanjutan.
Yang tidak kalah penting untuk dilakukan saat ini adalah pemilihan metodologi yang tepat untuk pelaksanaan restorasi. Ia menyebutkan tahapan pertama adalah mengidentifikasi tingkat kerusakan hutan yang berkorelasi langsung dengan kondisi tutupan lahan.
Baca juga: BMKG Uji Kesiapsiagaan Dampak Gempa M9,0 Selat Sunda Lewat IOWAVE25
“Tingkat kerusakan dan kondisi tutupan lahan menjadi penentu utama dalam merumuskan strategi restorasi,” ujar Widiyatno dalam webinar Restorasi Ekosistem pada Hutan Alam, Bekas Tambang, dan Mangrove dalam rangka Dies Natalis ke-62 Fakultas Kehutanan UGM, Kamis, 25 September 2025.
Lebih lanjut, ia memaparkan konsekuensi dari tingkat kerusakan berdampak pada upaya pemulihan. Jika semakin tinggi tingkat degradasi hutan, maka akan semakin rendah biodiversity and ecosystem services.
“Akibatnya, upaya pengembalian hutan ke rona alam alaminya akan menuntut waktu dan biaya yang semakin tinggi seiring dengan meningkatnya level kerusakan yang harus diperbaiki,” ujar dia.
Baca juga: Jatam Menilai Pemerintah Sedang Memoles Citra Lewat Lahan Tambang Bermasalah
Menurut dia, enrichment planting dan native species menjadi salah satu metode restorasi hutan yang memiliki dampak signifikan dan holistik. Ia mencontohkan, metode ini terbukti mampu meningkatkan serapan karbon hingga sekitar 140 ton/ha pada tegakan pohon berumur 25 tahun.
Berfokus pada isu reklamasi tambang, staf pengajar di Laboratorium Fisiologi Pohon dan Tanah Hutan FKH UGM, Handojo Hadi Nurjanto membedah pentingnya penyiapan tapak dalam keberhasilan restorasi bekas tambang. Ia menyebut enam langkah kunci dalam reklamasi lahan pasca tambang, yakni penyiapan lahan, penataan lahan, pengendalian erosi, pengolahan lapisan tapak, revegetasi, dan pengamanan.
Handojo menuturkan reklamasi tambang tidak bisa dilakukan sembarang, tetapi menyesuaikan lokasi, jenis tanah, perlakuan penataan lahan, dan aktivitas pertambangannya.
Baca juga: Kepemimpinan Baru Walhi Janjikan Garda Terdepan Keadilan Ekologis
“Pendekatan di dalam penyiapan tapak berbeda berakibat pada vegetasi yang ditanam pun berbeda,” kata dia.
Dennis Wara dari PT Ekosistem Khatulistiwa Lestari menyebut tantangan utama yang dihadapi di lapangan adalah tingkat deforestasi dan degradasi lahan, konservasi keanekaragaman hayati, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, serta pengembangan model bisnis perusahaan.







Discussion about this post