Wanaloka.com – Rakyat sedang menghadapi gelombang perampasan ruang hidup terbesar di negeri ini. Atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN), jutaan hektare tanah, laut, dan hutan diambil alih. Warga digusur, kriminalisasi merajalela, dan lingkungan hancur demi keuntungan segelintir elit dan korporasi besar.
Mulai dari Rempang Eco City, Food Estate Merauke, IKN Kalimantan Timur, tambang nikel di Sulawesi, sampai Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara. Pola yang sama terjadi: rakyat jadi korban, alam jadi tumbal, demikian narasi yang diunggah Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam lamannya, 28 Agustus 2025.
Penderitaan ini didukung negara lewat beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja yang memberi kemudahan dan percepatan PSN, berupa mengaburkan batas antara kepentingan umum dan kepentingan bisnis swasta, menghapus kontrol DPR atas alih fungsi kawasan hutan, mengizinkan pemerintah mengabaikan rencana tata ruang dan zonasi demi PSN, juga membuka peluang perampasan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan wilayah pesisir.
Baca juga: Riset Konservasi dan Rehabilitasi Hasilkan Temuan Manfaat Mangrove dari Akar hingga Buah
“Ayo, dukung Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang melegitimasi perampasan ruang hidup atas nama PSN,” seru Jatam.
UU Cipta Kerja diklaim menyederhanakan regulasi
Sementara Pemerintah menyatakan berkomitmen terhadap perlindungan lingkungan hidup dalam persidangan uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang digugat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di MK.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup/Wakil Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono hadir mewakili Pemerintah untuk membacakan Keterangan Presiden dalam sidang yang digelar di Jakarta, Senin, 25 Agustus 2025. Majelis Hakim Konstitusi terdiri dari Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic, Ridwan Mansyur, Arief Hidayat, dan Arsul Sani.
Baca juga: Perubahan Iklim Sulit Diprediksi, BMKG Gunakan Kecerdasan Buatan
Dalam keterangannya, Pemerintah menegaskan bahwa perubahan dalam UU Cipta Kerja dirancang untuk menyederhanakan regulasi dan meningkatkan efektivitas tata kelola tanpa mengurangi substansi perlindungan lingkungan hidup. Pemerintah juga menilai dalil pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena kerugian yang diklaim bersifat asumtif dan tidak aktual.
“Pemohon tidak menguraikan secara konkret kerugian spesifik yang dialami secara langsung oleh Pemohon sebagai sebuah entitas badan hukum privat. Kerugian yang didalilkan lebih merupakan asumsi mengenai dampak negatif di masa depan, bukan kerugian aktual atau yang dapat dipastikan akan terjadi,” kata Diaz.
Discussion about this post