“Nelayan adalah pahlawan protein bangsa yang berjasa mengantarkan ikan dari laut ke meja makan kita. Namun, keberadaannya terus terancam,” tutur Parid.
Berdasarkan kondisi tersebut, Walhi mendesak agar pemerintah segera mengevaluasi berbagai izin usaha di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang terbukti merugikan nelayan di Indonesia.
Baca Juga: Balai TNK Tindak Wisatawan Rayakan Ultah dengan Petasan di Pulau Kalong
Walhi juga meminta pemerintah untuk menghentikan berbagai upaya liberalisasi dan privatisasi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia.
Pemerintah juga diesak untuk segera menyusun aturan turunan dari UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang memandatkan pemerintah untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan, khususnya kepada nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional dari ancaman krisis iklim.
KKP: Nelayan Tanpa Batasan Kuota dan Pajak
Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjanjikan pengutamaan kepentingan nelayan lokal dalam implementasi kebijakan penangkapan terukur di Indonesia. Kuota untuk nelayan lokal diberikan tanpa batasan dan tidak dipungut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Berapa pun kuota yang dibutuhkan nelayan lokal kita akan dipenuhi, tidak ada pembatasan. Mereka sekarang ambilnya satu kapal, misalkan satu ton, kemudian nanti mampu 10 ton. Silahkan kalau mampu. Juga tidak ada sistem kontrak dan tidak perlu bayar PNBP. Peraturan perizinan pun tidak ada yang berubah. Nelayan lokal hanya diarahkan membentuk kelompok atau koperasi supaya lebih kuat,” ungkap Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini Hanafi di Jakarta dalam siaran pers yang dilansir laman kkp.go.id, 4 April 2022.
Baca Juga: Setelah Dua Tahun Pandemi, TN Tanjung Puting Melepasliarkan 13 Orangutan
Pernyataan Zaini untuk menjawab kekhawatiran sejumlah pihak yang menganggap penerapan kebijakan penangkapan terukur akan merugikan nelayan lokal karena kuota penangkapan diutamakan untuk pemodal (investor).
Zaini memaparkan, dari enam zona penangkapan yang mencakup 11 WPP, zona 1 hingga 4 yang disebut sebagai zona penangkapan industri di mana kuota dibagikan kepada nelayan lokal, nonkomersial, dan industri.
Empat zona ini meliputi WPP 711 (Zona 1), WPP 716 dan 717 (Zona 2), WPP 715, 718 dan WPP 714 (Zona 3), WPP 572 dan WPP 573 (Zona 4). Sedangkan dua zona lainnya yang tersebar di WPP 571 (Zona 5) serta WPP 712 dan 713 (Zona 6) merupakan zona penangkapan biasa yang tidak menerapkan sistem kuota.
“Yang kedua kuota untuk nonkomersial, yaitu untuk pendidikan, pelatihan dan hobi (mancing). Ini tidak banyak ini hanya 0,01 persen dari kuota yang ada. Nah setelah ini ada sisanya baru yang ketiga untuk industri,” kata Zaini.
Baca Juga: Ini Aturan Mudik Lebaran 2022
Penerima kuota industri ini juga memiliki aturan main ketat. Pemberitaan kuota industri diutamakan bagi pelaku usaha perikanan yang sudah berjalan (eksisting). Apabila masih memiliki sisa kuota, barulah diberikan kepada calon investor.
Syarat bagi calon investor pun diklaim cukup ketat. Salah satunya harus memiliki modal usaha minimal Rp200 miliar untuk memastikan keseriusan pelaku usaha dalam menjalani bisnis perikanan dalam jangka waktu yang panjang. Langkah ini untuk mengantisipasi terjadinya percaloan kuota penangkapan.
“Jadi yang baru yang mau masuk, ini sangat ketat aturannya. Kami tidak akan obral, agar tidak ada calo-calo yang masuk. Makanya ketat Rp200 miliar. Tapi ini di luar di balik-balik, seakan-akan yang Rp200 miliar ini ingin menghabisi pengusaha yang sudah eksis. Tidak. Pengusaha yang eksis cukup menunjukkan dia sudah punya kapal,” kata Zaini.
Baca Juga: Longsor di Cilacap, 177 Warga Desa Kutabima Mengungsi
Selain kuota, alat tangkap turut diatur dalam implementasi kebijakan penangkapan terukur. Alat tangkap yang dipakai harus ramah lingkungan sebagai upaya menjaga keberlanjutan ekosistem laut. Dia juga memastikan tidak ada pengkaplingan laut dalam penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota.
“Banyak yang salah di luar seakan-akan kebijakan penangkapan terukur ini mengkapling laut. Konsesinya bukan wilayah, tapi komoditasnya, jumlah ikan yang bisa diambil atau kuota,” terang dia.
Sementara itu, esensi dari penerapan kebijakan penangkapan terukur, sambungnya, untuk menghadirikan distribusi ekonomi yang lebih merata ke daerah di luar Pulau Jawa. Di samping itu, juga menjadi jalan terwujudnya Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional. Sebab pelabuhan perikanan yang tersebar di provinsi tersebut akan menjadi lokasi wajib pendaratan ikan.
“Kenapa? karena Maluku itu kalau tidak salah ada empat pelabuhan. Kalau empat pelabuhan ini rata-rata ada 300 ribu ton ikan yang disimpan di sana sebagai lokasi pendaratan. Jadi ada 1,2 juta ton ikan di Maluku. Apa ini bukan lumbung ikan nasional kalau terjadi seperti ini? Inilah yang Pak Menteri inginkan. Nah fasilitas nanti akan mengikuti semuanya,” imbuhnya. [WLC02]
Discussion about this post