Wanaloka.com – UU Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention On Mercury (Konvensi Minamata Mengenai Merkuri) sudah lima tahun lalu disahkan untuk mengatur penggunaan merkuri atau raksa secara global. Tujuannya untuk melindungi kesehatan, manusia, dan lingkungan hidup dari emisi dan lepasan merkuri maupun senyawa-senyawa merkuri yang bersifat antropogenik.
Salah satu upayanya adalah gelaran Conference of the Parties ke-4 (COP-4) Konvensi Minamata di Bali pada 21 Maret 2022. Dalam pembukaan bertema Make Mercury History, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menyebutkan, pemerintah Indonesia sedang menjalankan kebijakan nasional untuk mencapai Indonesia bebas merkuri pada 2030. Kebijakan nasional ini berfokus pada empat sektor prioritas, yaitu sektor manufaktur, energi, penambangan emas skala kecil (PESK), dan kesehatan.
“Sayangnya, kebijakan nasional yang disampaikan Menteri LHK tidak secara spesifik menyinggung korporasi besar. Tema Make Mercury History hanya akan menjadi jargon jika tidak menyentuh akar masalah,” kata Manajer Pengkampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Wahyu A Perdana dalam siaran pers tertanggal 22 Maret 2022.
Baca Juga: Upaya Pemerintah Menekan Kerugian Lingkungan dengan Mengakhiri Penggunaan Merkuri
Berdasarkan data Kementerian LHK (KLHK), saat ini 57,5 persen dari total emisi merkuri nasional berasal dari penggunaan merkuri oleh PESK. Padahal penggunaan merkuri tidak hanya dalam industri pertambangan emas.
Beberapa emisi yang menghasilkan dan menggunakan merkuri adalah, pertama, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Tempat Pembuangan Akhir (TPA) open dumping, dan pembakaran sampah berkontribusi besar dalam emisi merkuri di udara. Kedua, emisi dan lepasan merkuri dari industri lain seperti pulp dan kertas, pertambangan, dan sektor migas.
Berdasarkan data Walhi 2022, saat ini luas tambang batubara telah mencaplok lahan seluas hampir 5 juta hektare dan pertambangan emas setidaknya menguasai hampir 2 juta hektare lahan. Setidaknya ada 56 PLTU batubara aktif beroperasi.
“Artinya, izin-izin tambang batu bara dan PLTU akan memperluas pencemaran merkuri,” imbuh Wahyu.
Baca Juga: Dosen ITB: Net-Zero Emission 2060 Tak Berarti Menghapus Pemanfaatan Batu Bara
Dampak pencemaran merkuri yang mudah menyebar lewat udara, tanah, dan air punya dampak yang cukup toksik pada makhluk hidup dan lingkungan. Mulai dari yang bersifat korosif ke kulit secara langsung, kerusakan ginjal, berdampak degenerasi neuron pada otak, mengganggu fungsi kekebalan tubuh dan enzim, hingga gangguan Janin dan fungsi reproduksi perempuan.
Di Indonesia sempat mencuat pada kasus Newmont, yakni penyakit Minamata akibat merkuri di Jepang yaang seringkali disebut sebagai salah satu dari 10 bencana lingkungan.
Walhi menduga, ketidakseriusan Pemerintah Indonesia dalam menghentikan penggunaan merkuri sangat terlihat dengan produk undang-undang yang dihasilkan. Kehadiran UU Cipta Kerja (Omnibus Law) justru akan memperparah pencemaran dan penggunaan merkuri. Ini terlihat dengan teredusirnya pasal-pasal perlindungan dan tata kelola lingkungan, maupun pasal penegakan hukum atas pencemaran lingkungan.
Baca Juga: Targetkan Emisi Nol Karbon, PLTA Poso Diduga Pertaruhkan Keselamatan Warga dan Lingkungan
Pada momentum Hari Air Sedunia 22 Maret yang bertepatan juga dengan pelaksanaan Konvensi Minamata di Bali, menurut Wahyu, pemerintah harus mengontrol lebih tegas penggunaan, emisi dan lepasan merkuri maupun senyawa-senyawa merkuri. Perlindungan ekosistem air, lingkungan dan hak kesehatan, bukan sesuatu yang bisa ditawar atas nama investasi.
Terkait hal tersebut, Walhi menyampaikan masukan, bahwa seharusnya langkah strategis pemerintah adalah:
Pertama, mencabut Omnibus Law yang meredusir regulasi-regulasi perlindungan dan tata kelola lingkungan.
Kedua, mencabut aturan turunan Omnibus Law juga telah memiliki preseden meredusir limbah B3 (termasuk FABA) menjadi kategori non-B3 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021.
Ketiga, mengembalikan prinsip pertanggungjawaban mutlak dalam penegakan hukum lingkungan, Omnibus Law juga melakukan redusir pada Pasal 88 UUPPLH, terkait pertanggungjawaban-mutlak (strict liability), yang secara spesifik juga mengatur tentang penggunaan B3 dengan menghilangkan klausul “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.
Make Mercury History
Discussion about this post