Baca Juga: Gerakan Global Climate Srike: Waktu Kian Sempit, Bumi Serukan Darurat Iklim
Dukungan Jepang untuk ekspansi LNG juga akan menimbulkan risiko yang cukup besar terhadap dekarbonisasi, keamanan energi, dan perlindungan lingkungan. Pemerintah Jepang berupaya menciptakan rantai pasokan LNG yang lebih besar di Asia, termasuk mendukung konferensi LNG selama ajang Tokyo GX Week yang tengah berlangsung.
Dengan dalih ‘keamanan energi’, pemerintah Jepang terus mempromosikan penciptaan dan perluasan pasar LNG di Asia, menjadi tuan rumah Konferensi Produsen-Konsumen LNG, dan mengumumkan bantuan keuangan dan pengembangan sumber daya manusia sebesar puluhan miliar dolar untuk proyek-proyek LNG.
Padahal mempromosikan gas yang merupakan bagian dari bahan bakar fosil di kawasan Asia, tidak hanya bertentangan dengan langkah-langkah pencegahan pemburukan dampak perubahan iklim. Melainkan juga membuat pasokan energi negara-negara Asia, termasuk Jepang, semakin tidak stabil mengingat harga gas yang fluktuatif.
Baca Juga: IPCC: Krisis Iklim Memakan Korban Jiwa, Perbankan Harus Hentikan Pendanaan Batu Bara
Studi iklim telah menyarankan, bukan hanya PLTU batu bara saja yang harus segera dipensiunkan karena menghasilkan emisi CO2 paling banyak dari semua pembangkitan listrik yang ada. Melainkan juga produksi seluruh bahan bakar fosil harus dikurangi. IPCC memperkirakan infrastruktur bahan bakar fosil yang saat ini beroperasi dan direncanakan untuk beroperasi akan menghasilkan emisi CO2 yang cukup besar untuk menyebabkan suhu global naik lebih dari 2°C.
Gas telah dipromosikan sebagai bahan bakar ‘jembatan’ karena mengeluarkan lebih sedikit CO2 saat dibakar dibandingkan dengan batu bara. Namun, berdasarkan studi iklim yang ada, demi mencegah kenaikan suhu global di bawah 2°C, tidak ada ruang untuk bahan bakar fosil baru, termasuk gas. Selain itu, metana sebagai komponen utama gas, tidak bisa diremehkan kontribusinya terhadap pemanasan global. Mengingat 40 persen emisi metana antropogenik berasal dari sumber energi. Pengurangan emisi metana dalam penggunaan bahan bakar fosil harus juga menjadi sorotan untuk dikurangi.
Baca Juga: Peringati Hari Meteorologi Sedunia, Sekjen PBB Sebut Ulah Manusia Dampak Iklim Semakin Buruk
Krisis iklim adalah masalah yang mendesak. Sejak Juni 2022, Pakistan mengalami banjir besar yang menyebabkan kerusakan parah sehingga sepertiga dari negara itu tenggelam. Di Indonesia, siklon tropis Seroja meluluhlantakan provinsi Nusa Tenggara Timur dan menyebabkan korban jiwa hingga setidaknya 182 orang pada 2021. Dampak krisis iklim global yang kian intensif perlu disikapi dengan mengakhiri ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Dengan berkaca pada situasi ini, promosi penggunaan co-firing hidrogen dan amonia, serta penggunaan LNG, tidak dapat dianggap sebagai transisi energi. Melainkan sekadar mengakomodasi kepentingan korporasi untuk terus menggunakan bahan bakar fosil.
“Kami menduga, agenda sebenarnya adalah meningkatkan kontrol korporasi atas pasar energi dengan menggunakan isu perubahan iklim sebagai peluang untuk mencapai tujuan tersebut,” ungkap Fanny.
Baca Juga: Hujan Es, Dampak Perubahan Iklim dan Membawa Polutan
Investasi Jepang yang masih mendorong penggunaan bahan bakar fosil (seperti proyek amonia PLTU Suralaya di Banten atau Proyek LNG Blok Masela di Laut Arafura) merupakan fase lain dari kolonialisme abad ke-21 dengan kedok transisi energi.
Di Indonesia yang saat ini mengalami kelebihan pasokan listrik (bahkan sampai dengan 6,7 GW hanya di pulau Jawa-Bali saja), sudah seharusnya digunakan untuk memulai menghentikan penggunaan energi fosil. Juga mulai meningkatkan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, dan bukannya terjebak pada solusi-solusi palsu. [WLC02]
Sumber: Walhi Nasional
Discussion about this post