Wanaloka.com – Pertemuan pemimpin-pemimpin dunia dalam Konferensi Tingkat Tinggi Group Twenty (KTT G20) pada 15-16 November 2022 di Bali ditengarai Aliansi Sulawesi – aliansi sejumlah LSM di Sulawesi – tak hanya upaya Indonesia untuk memastikan modal asing milik investor Amerika dan Eropa tidak ditarik. Apalagi suku bunga di bank-bank negara tersebut naik. Sementara krisis ekonomi juga melanda negara-negara berkembang, seperti Indonesia yang bergantung pada investasi asing.
Melainkan juga kepentingan Indonesia untuk meyakinkan negara-negara maju agar terus meningkatkan investasinya di Indonesia, terutama di sektor energi, transportasi, dan bahan baku yang terkait dengan teknologi dan kendaraan listrik.
“Kami yakin pemerintah Indonesia akan menawarkan kepada negara-negara maju soal potensi nikel di hutan hujan Indonesia, khususnya di Sulawesi,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah, Sunardi dalam siaran pers yang diterima Wanaloka, 13 November 2022.
Baca Juga: Aliansi Masyarakat Sipil Menilai G20 Solusi Palsu Bagi Kesejahteraan Rakyat
Aliansi LSM Sulawesi menduga Indonesia berambisi untuk menjadi produsen bahan baku baterai kelas dunia untuk mendukung produksi kendaraan listrik dunia. Pemerintah dan negara Indonesia diharapkan menjadi tuan rumah pameran kendaraan listrik dengan mengusung tema transisi energi.
“Masyarakat Sulawesi juga punya aspirasi krusial atas KTT G20 itu. Mengingat kebijakan pemerintah Indonesia seringkali tidak mencerminkan kehendak rakyat,” imbuh Sunardi.
Apa sajah aspirasi masyarakat Sulawesi?
Para pemimpin negara-negara G20, terutama Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Eropa, Jepang, Cina, dan Australia, menurut Aliansi Sulawesi seharusnya memperhatikan kehidupan masyarakat di Indonesia yang semakin miskin, terutama yang tinggal di sekitar hutan. Juga petani dan keluarga nelayan yang tinggal di sekitar tambang nikel dan smelter serta pembangkit listrik yang kotor.
Baca Juga: Hati-hati, Delapan Provinsi Kategori Siaga Dampak Hujan Lebat Hari Ini
Sebelum penambangan nikel meluas ke hutan hujan di Sulawesi, petani di Morowali, Morowali Utara (Sulawesi Tengah), Luwu Timur (Sulawesi Selatan), Konawe, Konawe Utara dan kabupaten lain di Sulawesi Tenggara bisa mengandalkan dua kali panen dalam setahun. Setelah tambang dan smelter nikel mulai beroperasi, masyarakat sering mengalami gagal panen karena sawah mereka tercemar lumpur tambang dan limbah smelter.
“Akhirnya, petani terpaksa menjual sawahnya karena sudah tidak layak lagi,” kata Sunardi.
Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin mengingatkan, para pemimpin negara yang mempromosikan kendaraan listrik harus tahu bahwa kehancuran di Pulau Sulawesi akibat tambang dan smelter nikel tidak hanya menjadi masalah di hutan hujan, tetapi juga meluas ke garis pantai. Setiap turun hujan, lumpur tambang tersapu ke Sungai Malili di Sulawesi Selatan, sehingga sungai tersebut tercemar dan berubah warna menjadi merah.
Baca Juga: Gempa Dangkal di Darat Kembali Guncang Jawa Barat
Lumpur terbawa ke laut, mencemari garis pantai, menipiskan stok ikan dan berdampak pada mata pencaharian keluarga nelayan, serta memaksa mereka untuk berlayar lebih jauh dari sebelumnya untuk menangkap ikan akibat wilayah tangkapnya tercemar limbah nikel.
Hal yang sama juga terjadi di Desa Lampia, Kabupaten Malili, Sulawesi Selatan dimana lumpur bekas tambang nikel langsung mencemari laut. Tim Walhi Sulsel mengamati pencemaran lumpur tambang nikel di pesisir Lampia sudah mencapai 100 meter ke laut, juga berdampak pada hutan mangrove di pesisir Lampia.
“Dampak aktivitas penambangan dan peleburan nikel tak hanya pencemaran sungai dan laut. Juga berdampak terhadap mata pencaharian keluarga nelayan di Lampia,” papar Amin.
Baca Juga: Malam Tadi Gempa Dangkal Guncang Purwakarta dan Cilacap
Perempuan pun terdampak penambangan nikel. Bagi perempuan di Sorowako, khususnya masyarakat adat Karonsie, tambang dan smelter nikel milik perusahaan Brasil, Kanada, dan Jepang telah menghancurkan impian mereka akan kehidupan yang baik dan mandiri dengan mengolah tanah mereka sendiri. Tanah dan kebun adat mereka dirampas oleh perusahaan tambang nikel tanpa ganti rugi. Bahkan diubah menjadi lapangan golf milik perusahaan. Mereka tidak lagi memiliki akses air bersih dan terpaksa mengkonsumsi air sungai kotor yang tercemar lumpur tambang nikel.
“Pemukiman masyarakat juga telah dipagari tanpa menghormati hak tanah adat masyarakat Karonsie,” imbuh Amin.
Perluasan lokasi penambangan nikel terbaru di Sulawesi Selatan telah menyebabkan penggusuran dan perampasan kebun lada milik masyarakat yang telah menghidupi mereka bertahun-tahun. Konflik sosial seolah telah didesain sebelumnya di sana.
Baca Juga: Mengenal Kain Lurik, Tak Sekadar Kain Bergaris
Potret kerusakan hutan hujan yang berdampak pada rusaknya sumber kehidupan masyarakat, khususnya perempuan, juga terjadi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Di Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara, akibat lumpur penambangan dan limbah tailing dari smelter nikel perusahaan China, para nelayan di Morowali harus pasrah kehilangan mata pencaharian mereka.
Sebab pesisir dan laut yang selama ini menjadi sumber pendapatan nelayan, tercemar lumpur bekas tambang dan limbah peleburan nikel. Akibatnya, nelayan memutuskan untuk berhenti melaut dan memilih menjadi buruh bangunan dan buruh pabrik smelter yang penghasilannya jauh dibandingkan saat menjadi nelayan.
Discussion about this post