Wanaloka.com – Puluhan masyarakat Indonesia yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berkumpul untuk saling tukar pikiran pada 10-11 November 2022 di Denpasar, Bali. Pertemuan digelar tiga hari menjelang perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group Twenty (G20) di Bali.
Pertemuan atas nama Aliansi Masyarakat Sipil itu mengecam keras berbagai langkah pembangunan megaproyek industri ekstraktif yang digalakkan pemerintah.
“Termasuk untuk menopang perhelatan KTT G20 yang berdampak kerugian bagi warga dan lingkungan,” tegas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur dalam siaran pers yang diterima Wanaloka.com, 13 November 2022.
Baca Juga: Hati-hati, Delapan Provinsi Kategori Siaga Dampak Hujan Lebat Hari Ini
Mengapa KTT G20 dengan tema “Recover Together, Recover Stronger” ini dinilai bermasalah?
Proyek Strategis Nasional dan Energi
Pemerintah dinilai telah memaksakan proyek-proyek strategis nasional (PSN) di berbagai daerah
dengan cara merampas tanah-tanah rakyat. Sebut saja pembangunan PLTU batu bara, waduk, jalan tol, food estate, geothermal, sampai proyek Ibu Kota Negara (IKN).
“Selain tidak menjawab kebutuhan rakyat, seluruh proyek tersebut juga menutup kesempatan rakyat untuk mengambil keputusan atas ruang hidupnya sendiri,” papar Isnur.
Baca Juga: Gempa Dangkal di Darat Kembali Guncang Jawa Barat
Proyek energi yang diklaim energi bersih seperti PLTA dan geothermal dibangun di atas tanah-tanah rakyat dan menghancurkan lahan hutan ribuan hektare. Dampak lingkungan terhadap proyek-proyek tersebut sudah menimpa masyarakat. Antara lain mengakibatkan sumber air kering, air minum tercemar, lingkungan tercemar, udara kotor, tanah pertanian rusak, ikan-ikan mati, hutan-hutan rusak, dan areal tangkapan nelayan menyempit.
Pembungkaman Demokrasi
Seluruh dokumen proyek, seperti AMDAL, izin lingkungan, izin operasi pertambangan diputuskan sepihak dan tertutup tanpa mengikutsertakan masyarakat. Perundang-undangan PSN pun dibuat dalam waktu cepat, tertutup, dan nir partisipasi rakyat.
Penolakan masyarakat atas proyek-proyek tersebut secara terang disampaikan melalui serangkaian aksi di lapangan, demonstrasi, sampai audiensi kepada gubernur, bupati, DPRD, BPN sampai pemerintah pusat.
Baca Juga: Malam Tadi Gempa Dangkal Guncang Purwakarta dan Cilacap
“Dan pemerintah malah menjadi aktor yang melindungi perusahaan, juga pengoperasian PSN dan proyek-proyek energi,” kata Isnur.
Pemerintah daerah juga tidak menolak PSN yang mengancam kehidupan warganya, pun tidak menanggapi protes masyarakat. Melainkan justru membungkam protes-protes masyarakat dengan berbagai cara, yaitu kriminalisasi, intimidasi oleh aparat keamanan, preman maupun ormas, pembubaran aksi, penutupan akses dokumen, sampai perpanjangan perizinan perusahaan atau Hak Guna Usaha.
Sementara gugatan-gugatan hukum masyarakat kerap kandas di pengadilan karena putusan
hakim yang dirasa tidak adil.
Baca Juga: Mengenal Kain Lurik, Tak Sekadar Kain Bergaris
“Perlu disadari manipulasi terhadap rakyat yang terjadi sejak orde-orde sebelumnya hingga Pemerintahan Jokowi,” kata Isnur.
Manipulasi tersebut terjadi dengan menggunakan istilah-istilah “nasional” atau “pembangunan”. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah pemiskinan rakyat untuk menguntungkan segelintir orang.
Ketika manipulasi rakyat tidak berhasil dan menuntut haknya, muncul devide et impera alias
politik adu domba. Mulai intimidasi hingga partisipasi hanya untuk rakyat yang setuju. Diskriminasi pelayanan publik kerap mengiringi politik adu domba ini.
Baca Juga: Penting, Pertolongan Pertama Psikologi Penyintas Pasca Bencana
Hukum pun menjadi alat perampas hak, misal melalui Perpres PSN, UU Minerba, dan
UU Omnibus Law Cipta Kerja (OLCK). Hukum juga menjadi alat kontrol dan memuluskan
politik adu domba. Peraturan polisi tentang PAM Swakarsa menempatkan satkamling termasuk
kearifan lokal sebagai pemberi keterangan atau informasi yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban lingkungan.
G20 Jadi Solusi Palsu
Menurut Isnur, selama periode jabatan Jokowi, doktrin utama diplomasi pemerintahannya bersandar pada indikator ekonomi yang mereduksi kerja diplomat hanya sebagai broker bisnis dan perdagangan. Keberhasilannya diukur melalui seberapa banyak investasi asing yang masuk ke Indonesia.
Dengan menjadikan capaian finansial sebagai orientasi utama diplomasi Indonesia, Jokowi menaruh label harga terhadap Indonesia: karena memiliki harga, maka kita bisa dibeli. Tak terkecuali pada perhelatan G20 yang diselenggarakan di Bali pada 15-16 November 2022.
Baca Juga: Fans Kpop Ajak Pemimpin Dunia Komitmen Lindungi Hutan, Bukan Memusnahkan
Sejak awal berdirinya, prinsip G20 adalah komite untuk menyelamatkan diri dari krisis ekonomi melalui praktik imperialisme, ketika negara-negara besar menentukan takdir negara miskin melalui instrumen politik dan ekonomi dengan perjanjian global untuk memperoleh keuntungan.
Di tengah polarisasi dunia, pemerintah Jokowi mewakili Indonesia bertindak sebagai ‘pedagang’ di meja diplomasi untuk menarik investasi sebesar-besarnya. Ini tercermin secara vulgar sampai ke politik lokal pemerintah Bali yang memanfaatkan momentum G20 untuk mempercepat pembangunan megaproyek dengan pembenaran, bahwa proyek ini selaras dengan agenda G20.
“Harapannya, megaproyek yang dibangun bisa menarik minat investor negara-negara besar untuk berbisnis di Indonesia,” ujar Isnur.
Baca Juga: Tiga Gempa Guncang Garut Malam Ini
Pada konteks ini, ada pertautan yang rumit antara politik lokal (pemerintah Bali), nasional (pemerintah Indonesia), dan politik global yang semuanya berorientasi menjadikan forum G20
untuk kepentingan bisnis dan politiknya masing-masing. Dalam setiap kampanye publik, pemerintah mengklaim G20 akan memulihkan ekonomi, khususnya bagi pariwisata Bali yang krisis setelah pandemi.
Discussion about this post