Wanaloka.com – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi salah satu target lokasi Pengolahan Sampah Energi Listrik (PSEL) yang merupakan bagian dari Proyek Strategi Nasional (PSN). Guna memperlancar persiapan tersebut, pemerintah daerah harus menyiapkan lahan untuk proyek PSEL.
Pemerintah daerah juga mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan sampah dengan total volume 1000 ton/hari untuk operasional. Jika tidak memenuhi kuota tersebut, maka pemerintah daerah harus membayar kompensasi. Beban layanan (tipping fee) atau pengelolaan sampah yang selama ini diserahkan ke pemerintah daerah akan lansung diteruskan ke struktur tarif listrik dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL).
Proyek-proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di Surabaya dan Surakarta belum dapat menyelesaikan permasalahan sampah di wilayah urban maupun wilayah penyangga. Sementara proyek ITF Bawuran di Kabupaten Bantul juga belum beroperasi secara optimal, karena hanya mampu mengolah 25-30 ton/hari.
Baca juga: Cuaca Panas Tiap Tahun Makin Ekstrem, Penggunaan AC Justru Meningkatkan Udara Panas
“Kalau melihat track record pengelolaan sampah di Yogyakarta hingga hari ini, sangat riskan. Terkesan sangat dipaksakan dan terburu-buru apabila Yogyakarta menerima proyek PSEL yang akan dibangun di dekat TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) Piyungan,” kata Kepala Divisi Kampanye dan Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Elki Setiyo Hadi yang diterima Wanaloka.com, Jumat, 24 Oktober 2025.
Di sisi lain, Walhi Yogyakarta menilai pembangunan PSEL belum menjadi solusi atas permasalahan sampah di Yogyakarta. Pertama, alih-alih menyelesaikan permasalahan sampah, justru terdapat potensi pencemaran udara. Proyek waste to energy di Indonesia masih menjadi program penyelesaian sampah menggunakan solusi palsu. Mengingat proyek yang diterapkan di Indonesia masih menggunakan metode pembakaran (insenerasi) dan hasil energi yang dihasilkan juga tidak sebanding.
Kedua, pembakaran sampah dapat mengasilkan zat-zat beracun seperti dioksin dan furan, yaitu zat yang berbahaya untuk kesehatan manusia. Ditambah tata kelola tempat pemrosesan akhir (TPA) di indonesia masih buruk karena menggunakan open dumping dan pengelolaan TPA Bahan Berbahaya Beracun (B3) yang buruk.
Baca juga: Solar Dicampur Biodiesel 40 Persen Tahun 2026, Bensin Dicampur Etanol 10 Persen Tahun 2027
Ketiga, rendahnya angka pemilahan sampah memicu proyek waste to energy semakin berbahaya apabila dipaksa untuk digenjot. Operasional PSEL di Bawuran memerlukan suplai air besar yang rencananya akan disuplai PDAM dan mengambil air dari sungai Oya, sehingga akan memengaruhi kondisi air di wilayah tersebut.
Keempat, selain ancaman degradasi lingkungan, pelibatan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) semakin menambah risiko menjadi lebih kompleks, salah satunya risiko kegagalan proyek. Tercermin dari kegagalan protipe yang ada di Jakarta, Surabaya dan Surakarta.
“Jadi, alih-alih memulihkan lingkungan yang rusak akibat kegagalan pengelolaan TPA Piyungan, PSLE punya potensi memperparah degradasi lingkungan yang terjadi di wilayah tersebut,” tegas Elki.
Baca juga: Penting Tanggung Jawab Industri dan Pemerintah atas Kandungan Mikroplastik dalam Air Hujan
Sampah telah menjadi masalah laten di Yogyakarta. Upaya penyelesaian menggunakan mesin dan metode insenerasi, terbukti tidak efektif dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan. Di sisi lain, proyek waste to energy di Indonesia masih penuh dengan berbagai permasalahan, ditambah pengelolaan yang diserahkan Danantara.
Walhi Yogyakarta memberikan rekomendasi untuk Pemerintah DIY.
Pertama, menolak pembangunan PSEL di Yogyakarta dan solusi-solusi palsu yang masih menggunakan metode pembakaran (insenerasi).
Kedua, beralih ke solusi-solusi dengan menekankan pada prinsip-prinsip berkeadilan, dengan melibatkan berbagai pihak khususnya warga yang terdampak atas permasalahan darurat sampah di Yogyakarta.
Baca juga: Emilya Nurjani, Sampaikanlah Peringatan Dini Cuaca Ekstrem dengan Bahasa Mudah Dipahami
Ketiga, menawarkan solusi yang bersifat inklusif dan membangun pengelolaan sampah berbasis pada pengetahuan local.
Keempat, menawarkan solusi dengan menghormati batasan planet dengan bergerak menuju ketercukupan yaitu mengoptimalkan pengurangan di hulu atau sumber sampah.






Discussion about this post