Sebelumnya, warga sudah berungkali menyurati Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan KLHK untuk tidak mengijinkan tambang beroperasi di kampung mereka. Bahkan warga juga berulang kali ke Jakarta untuk audiensi.
“Karena pertanian yang sudah kami kerjakan turun temurun dan akan terus diwariskan dari generasi ke generasi, telah cukup menghidupi dan menyejahterakan kami,” kata Dormaida.
Kemudian pada 9 Juni 2023, koalisi masyarakat sipil yang bersolidaritas pada perjuangan warga Dairi mengirimkan surat desakan ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk memantau proses persidangan yang sedang berjalan. Mengingat yang sedang digugat oleh warga Dairi adalah lembaga negara dan korporasi besar. Jadi harus dipastikan independensi majelis hakim agar tidak diintervensi oleh KLHK dan PT DPM.
Baca Juga: Merespons Ancaman Gempa Sesar Opak Yogyakarta
Ketidakterbukaan KLHK yang manipulatif dalam menerbitkan Persetujuan Lingkungan Hidup kepada PT DPM menunjukkan ada pelanggaran substansi dan prosedural yang dilakukan pemerintah. Saat ini, pemerintah sedang berjudi atas keselamatan warga dan lingkungan yang menjadi taruhannya. Tindakan pemerintah yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan petani dan warga Dairi merupakan kejahatan negara yang harus ditolak. Seharusnya negara bertanggungjawab dan mendukung kehidupan masyarakat Dairi dengan mengembangkan pertaniannya. Serta melindungi hak-hak masyarakat sebagai petani yang menopang ketersediaan pangan. Bukan dengan industri tambang.
Salah satu kuasa hukum warga Dairi dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Muh. Jamil menegaskan persetujuan lingkungan PT. DPM yang diterbitkan Menteri LHK wajib dibatalkan.
“Sebab, tambang bawah tanah seluas 24.000 hektar serta bendungan limbah raksasanya adalah upaya sistematis mengundang bencana industri untuk membumi hanguskan orang Dairi-Aceh Singkil serta seluruh kehidupan pada wilayah tersebut,” papar Jamil. [WLC02]
Sumber: Jaringan Advokasi Tambang







Discussion about this post