Wanaloka.com – Kajian ilmiah dalam konservasi tidak berdampak secara instan. Namun, apabila dimanfaatkan secara tepat bisa mempunyai pengaruh yang sangat besar.
“Konservasi bukan hanya soal pelestarian. Juga tentang bagaimana kita mengelola kekayaan hayati secara berkelanjutan dengan pendekatan berbasis pengetahuan, teknologi modern, dan kearifan lokal,” ujar Kepala Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asep Hidayat dalam Jamming Session Seri 1 Tahun 2025 bertema “Konservasi dan Pemanfaatan Tumbuhan Khas Indonesia” yang digelar secara daring, Kamis, 24 April2025.
Dalam kegiatan yang diinisiasi Kelompok Riset Autekologi Flora Endemik dan Dilindungi (AFEL) serta Kelompok Riset Autekologi Flora Perdagangan ini, ia menekankan peran strategis kajian ilmiah dalam mendukung konservasi keanekaragam hayati di Indonesia.
Baca juga: Anna Fatchiya, Program Adaptasi Dampak Perubahan Ikim Gagal Tanpa Libatkan Perempuan Petani
Asep juga menyoroti ancaman seperti alih fungsi lahan, deforestasi, dan perubahan iklim menjadi tantangan nyata. Apalagi ribuan spesies tumbuhan khas Indonesia bersifat endemik, langka, dan memiliki nilai ekologis, ekonomis, serta budaya yang tinggi. Upaya konservasi yang terintegrasi dan berkelanjutan penting dilakukan melalui kolaborasi lintas sektor berbasis data ilmiah.
“Kita sedang menghadapi tekanan besar dalam dunia flora, mulai dari deforestasi, konversi lahan, perambahan hutan, hingga perubahan iklim. Tak sedikit spesies kini berada di ambang kepunahan,” kata dia.
Menurut dia, dibutuhkan ruang strategis untuk mempertemukan akademisi, peneliti, pembuat kebijakan, dan praktisi. Meski forum ini bersifat informal, tujuannya jelas, yakni mendorong kolaborasi, memperkaya pengetahuan bersama, dan memetakan arah riset serta inovasi, khususnya terkait konservasi dan pemanfaatan tumbuhan khas Indonesia. Sebut saja, seperti Nepenthes ataupun spesies lain yang memiliki nilai ekologis dan ekonomi tinggi.
Baca juga: Menolak Tambang, Masyarakat Adat Halmahera Timur Alami Represi Polisi
Ia berharap, forum ini dapat melahirkan inovasi dan rekomendasi konkret yang memperkuat kebijakan konservasi. Serta mendorong pemanfaatan sumber daya hayati secara berkelanjutan dan memberi nilai tambah bagi masyarakat.
Kerja sama selamatkan tanaman langka
Ketua Forum Pohon Langka Indonesia (FPLI), Tukirin Partomihardjo menyampaikan tantangan dalam konservasi tumbuhan khas Indonesia. Mengingat tujuan konservasi adalah tidak hanya melestarikan keanekaragaman hayati, namun juga menjaga sistem pendukung kehidupan sekaligus memastikan pemanfaatannya yang berkelanjutan.
Dari sekitar 6.500 spesies tumbuhan yang sudah dikaji statusnya, sebanyak 21,4 persen tumbuhan terancam punah, 1 jenis sudah punah dan 2 jenis punah di alam. Sementara pemerintah baru menetapkan 116 spesies atau 13 persen tumbuhan.
Baca juga: Neng Eem, Nasib Masyarakat Adat Terlunta-lunta di Tanah Sendiri
Tukirin menekankan pentingnya konservasi tumbuhan khas Indonesia sebagai langkah terpadu untuk menjaga kelestarian dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Ia menyoroti strategi konservasi perlu mencakup perlindungan habitat, pengelolaan kawasan secara berkelanjutan, dan restorasi lahan terdegradasi.
“Jadi penting kerja sama berbagai stakeholder, akademisi, peneliti dan masyarakat untuk penyelamatan pohon langka di Indonesia,” tegas dia.
Sementara Peneliti PREE, Muhammad Mansur menyampaikan hasil-hasil penelitiannya yang sudah dilakukan lebih dari 30 tahun mengenai “Keanekaragaman Nepenthes di Pulau Sumatra, status konservasi dan budidayanya”.
Baca juga: Bulan Purnama, Waspada Potensi Banjir Rob di Pesisir Surabaya Hingga 5 Mei 2025
Discussion about this post