Wanaloka.com – Ahad pagi, 27 November 2022, masyarakat sipil dari berbagai kalangan – YLBHI, LBH Jakarta, Amnesty Internasional Indonesia, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, LBH Masyarakat, Yifos Indonesia, PBHI – melakukan Aksi Bentang Spanduk saat Car Free Day di Bundaran HI, Jakarta Pusat. Aksi pembuka dari masyarakat ini bentuk protes rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR dan pemerintah sebelum masa reses ketiga atau sebelum 16 Desember 2022.
Masyarakat sipil juga melakukan sosialisasi “Bahaya RKUHP” dengan membagi flyer kepada publik di area Car Free Day terkait pasal berbahaya dari RKUHP. Berikut pasal-pasal bermasalah yang ditengarai membahayakan sebagaimana dipantau masyarakat, antara lain:
Pertama, pasal terkait living law. Pasal ini berbahaya karena kriminalisasi akan semakin mudah, akibat ada aturan menuruti penguasa tiap-tiap daerah. Perempuan dan kelompok rentan lain merupakan pihak yang berpotensi dirugikan pasal ini, sebab masih banyak perda diskriminatif.
Baca Juga: DPR Sahkan RKUHP Sebelum Reses, YLBHI: Semua Bisa Kena Kriminalisasi
Kedua, pasal terkait pidana mati. Legalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup manusia yang melekat sebagai sebuah karunia yang tidak dapat dikurangi ataupun dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Hukum ini harus ditiadakan karena beberapa kasus salah eksekusi telah terjadi.
Ketiga, pasal terkait perampasan aset untuk denda individu. Hukuman kumulatif berupa denda akan semakin memiskinan masyarakat miskin dan memperkuat penguasa. Metode hukuman kumulatif ini merupakan metode yang sangat kolonial dan hanya menjadi ruang bagi negara untung memeras atau mencari untung dari rakyat.
Keempat, pasal penghinaan presiden. Pasal ini anti kritik karena masyarakat yang mengkritik presiden dapat dituduh menghina dan berujung dipidana.
Baca Juga: Gempa Cianjur, BNPB Salurkan Logistik ke Daerah Sulit Dijangkau
Kelima, pasal peghinaan lembaga negara dan pemerintah. Pasal ini menunjukkan penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial.
Keenam, pasal terkait contempt of court (penghinaan peradilan). Pasal ini akan menjadikan posisi hakim di ruang persidangan seperti dewa. Dalam persidangan, seringkali masyarakat menemui ada hakim yang memihak. Apabila ada sikap protes atau kritik yang dianggap tidak menghormati hakim atau persidangan dapat diinggap sebagai penyerangan integritas. Pasal ini juga berbahaya bagi lawyer, saksi, dan korban.
Ketujuh, pasal terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan. Pasal ini juga termasuk pasal anti kritik karena masyarakat yang menuntut haknya justru bisa dipenjara.
Discussion about this post