Wanaloka.com – Seiring persetujuan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di tingkat I oleh Komisi III DPR pada 24 November 2022, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Kantor menilai RKUHP yang akan disahkan DPR dalam sidang paripurna disusun berdasarkan paradigma hukum yang menindas serta diskriminatif. Apabila dipaksakan untuk disahkan, paradigma hukum semacam itu akan memunculkan satu masalah besar, yakni ancaman over-kriminalisasi kepada rakyat.
“Simpulan tersebut tercermin dari muatan-muatan pasal anti demokrasi yang masih dipaksakan,” kata Direktur YLBH, Muhammad Isnur dalam siaran pers yang diterima Wanaloka.com, 24 November 2022.
Persoalan serius yang menjadi sorotan utama adalah RKUHP dapat menjadi instrumen yang mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. Pasal mengenai ancaman pidana terhadap penghinaan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218 sampai Pasal 220), pasal penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 349 sampai Pasal 351), pasal mengenai pencemaran nama baik, hingga pasal ancaman pidana kepada penyelenggaraan aksi demonstrasi yang tidak didahului dengan pemberitahuan (Pasal 256).
Baca Juga: Gempa Cianjur, BNPB Salurkan Logistik ke Daerah Sulit Dijangkau
Pasal-pasal itu dinilai menjadi contoh konkrit ancaman untuk menghantam suara-suara kritis rakyat terhadap penyelenggaraan Negara yang ditujukan kepada penguasa. Bahkan pasal-pasal tersebut berpotensi digunakan serampangan, mengingat rendahnya etika pejabat negara saat ini.
“Terutama, karena lebih sering memprioritaskan kepentingan oligarki, ketimbang kepentingan publik,” ucap Isnur.
Bagi YLBHI dan 18 LBH kantor, pemaksaan pasal-pasal anti demokrasi tersebut bertentangan dengan tujuan politik-hukum pemidanaan yang ditetapkan. Pemerintah dan DPR beragumentasi, bahwa RKUHP hadir untuk mendekolonialisasi KUHP yang merupakan warisan kolonial. Hal itu terbantahkan dengan sendirinya karena sifat kolonial justru berasal dari pasal-pasal yang anti demokrasi dan masih diakomodir oleh penguasa.
Baca Juga: Analisis Pakar, Perlu Peta Jalur Gempa untuk Hidup Harmonis dengan Gempa
“Jauh panggang dari api. Sah kami menyebut RKUHP sebagai produk hukum yang linear dengan politik-hukum pemerintahan kolonial di masa lampau. Alih-alih mendekolonialisasi, RKUHP justru merekolonialisasi politik hukum pemidanaan Indonesia,” papar Isnur.
YLBHI dan 18 LBH juga menganggap produk hukum tersebut diskriminatif karena subjek pengaturan pidana hanya ditujukan kepada rakyat dengan segala ketentuan batasan dan larangan-larangannya. Ancaman over-kriminalisasi yang terkandung dalam RKUHP menyebabkan #SemuaBisaKena.
Masyarakat sipil juga dipertontonkan dengan sikap anti demokrasi oleh wakil rakyat. Respon Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto kepada Aliansi Reformasi KUHP saat forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) menunjukkan DPR memilih menutup mata dan telinga terhadap banyaknya kritik dan masukan dari masyarakat.
Baca Juga: Analisis Pakar, Ini Penyebab Gempa Cianjur Terasa Dahsyat hingga Jakarta
Upaya kejar target DPR untuk mensahkan menunjukkan rendahnya etika pejabat publik. Ini menegaskan indikasi RKUHP berpotensi digunakan secara serampangan karena buruknya budaya hukum pejabat publik. Kondisi itu juga dinilai makin membuat terang, bahwa tidak ada keberpihakan wakil-wakil rakyat kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Discussion about this post