Netty Herawaty dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia (HAM) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menyatakan, usulan kebijakan penetapan taman nasional di Pegunungan Meratus yang dilakukan sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat adat yang telah lama menghuni dan mengelola kawasan tersebut merefleksikan pendekatan kebijakan yang sentralistik, top-down, dan eksklusif.
Terlebih, dalam UU KSDAHE yang baru meniadakan pelibatan pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat adat dalam mengelola dan melindungi hutan yang semestinya haruslah menjadi aktor utama dalam mengelola dan melindungi hutan. Dengan kata lain, usulan kebijakan konservasi melalui penetapan taman nasional jauh dari paradigma konservasi berbasis pengetahuan tradisional masyarakat adat dan hak-hak atas tanah masyarakat adat.
Baca juga: Teknologi ForeINTiFlood Ungkap Tiga Titik Rawan Jalur Masuk Rob di Pekalongan
Muhammad Ihsan Maulana dari Policy Engagement, Working Group ICCA Indonesia, menyatakan pengusulan dan penetapan Meratus secara sepihak sebagai taman nasional yang ditolak menambah daftar panjang potensi konflik di kawasan konservasi dan taman nasional yang akan dialami masyarakat adat.
Penetapan Meratus sebagai taman nasional juga berpotensi menghilangkan praktik konservasi berbasis pengetahuan tradisional yang sudah dilakukan secara turun temurun (ICCA). Meratus sudah tercatat sebagai salah satu dari 293 komunitas yang memegang hak dari wilayah ICCA.
“Kasus ini bukti, UU KSDAHE yang baru berpotensi memperparah urusan pengelolaan kawasan konservasi karena tidak mengatur proses FPIC dan Penyelesaian konflik dalam pengaturannya,” ujar Ihsan.
Baca juga: Populasi Gajah Sumatera Kritis, Pakar Serukan Mitigasi Konflik Gajah dengan Manusia
Seruan untuk Presiden dan DPR
Fakta-fakta penolakan usulan taman nasional ini disampaikan lewat diskusi publik bertema “Taman Nasional Meratus untuk Siapa?” yang diselenggarakan Walhi Kalsel dan AMAN Kalsel bersama organisasi masyarakat sipil, perwakilan komunitas adat, akademisi, dan aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Meratus.
Kegiatan ini menjadi wadah untuk membongkar dampak ekologis, sosial, dan politik dari kebijakan yang dinilai mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat. Serta meminggirkan hak-hak mereka atas tanah dan hutan warisan leluhur.
Diskusi publik ini juga menghasilkan Resolusi Meratus yang memuat sejumlah pernyataan sikap.
Baca juga: Curah Hujan Meningkat, Waspada Potensi Bencana Hidrometeorologi Awal Agustus 2025
Pertama, Menolak rencana penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus di wilayah adat Masyarakat Adat Meratus di Kalimantan Selatan.
Kedua, Mendesak Gubernur dan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan untuk segera menarik kembali pengajuan penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus di Kalimantan
Ketiga, Mendesak Kementerian Kehutanan Republik Indonesia untuk menghentikan seluruh proses penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan.
Baca juga: Akhmad Arifin, Solusi Permukiman di Daerah Banjir Ekstrem Harus Kembali Menjadi Hutan
Keempat, Mendesak kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan untuk Mengimplementasikan Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Berdasarkan sikap tersebut, Aliansi Meratus mengusulkan agar Presiden dan DPR untuk melakukan sejumlah langkah.
Pertama, Mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat dalam masa sidang tahun
Kedua, Melakukan revisi total Undang-Undang Kehutanan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR RI.
Ketiga, Mencabut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. [WLC02]
Sumber: Walhi







Discussion about this post