Wanaloka.com – Lima orang mahasiswa Filsafat UGM, yaitu Aza Khiatun Nisa, Nur Amalia Fitri, Muhammad Farid Wajdi, Kartika Situmorang, dan Moch Zihad Islami melakukan eksplorasi tentang kearifan lokal Arat Sabulungan di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Penelitian bertajuk “Arat Sabulungan: Eksplorasi Konsep Penanganan Perubahan Iklim dan Konsumsi Sumber Daya Berkelanjutan pada Masyarakat Mentawai” bertempat di Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan (Pulau Siberut) dan Desa Tuapejat, Kecamatan Tuapejat (Pulau Sipora), Kabupaten Kepulauan Mentawai pada tanggal 17-25 Juni 2022 lalu.
Salah satu narasumber penelitian adalah sikerei Aman Sasali. Menurut Aman, istilah Arat Sabulungan itu mencakup banyak makna, baik adat, agama, pesta, dan tradisi.
“Secara singkat, arat itu adat, sabulungan itu ritual. Kata bulung diambil dari kata tumbuh-tumbuhan. Jadi, singkatnya adalah adat yang diambil dari alam,” jelas Aman.
Baca Juga: Perayaan Hari Hutan Indonesia 2022 Kampanyekan Hutan Kita Sultan
Arat Sabulungan menuntun masyarakat Mentawai untuk menjaga hutan agar tercipta keseimbangan hidup antara komponen fisik dan non-fisik. Ada enam temuan praktik tradisi yang mengatur dan membatasi penggunaan sumber daya alam, yakni kei-kei (tabu dan larangan), tulou (denda), alak toga (mas kawin), panaki (ritual minta izin), punen (pesta), dan leleiyo atau urai simatak (lagu rakyat).
Bagi masyarakat Mentawai, Arat Sabulungan punya peran dan kedudukan sebagai prinsip religius sekaligus filosofis hidup. Meskipun mereka juga memeluk agama resmi. Arat Sabulungan juga berperan sebagai sistem hukum dan norma sosial dan sebagai prinsip konservasi lingkungan.
Baca Juga: Selamatkan Hutan Damar, KTH Kofarwis Dianugerahi Kalpataru 2022
Discussion about this post