Generasi bangsa Indonesia saat ini, sungguh beruntung. Masih diberi kesempatan untuk menyaksikan salju abadi satu-satunya di tanah air Indonesia. Saat tiba waktunya, dimana salju abadi Indonesia menghilang, lalu berubah menjadi sebongkah batu berwujud “monumen” semata, seperti Monumen Okjokull di Islandia.
Monumen Okjokull adalah simbol duka cita atas peristiwa “meninggalnya” gletser berumur 700 tahun bernama Okjokull (bahasa Islandia) pada tahun 2014. Sebuah film dokumenter berjudul “Not Ok” dirilis tahun 2018 untuk meningkatkan kesadaran tentang peristiwa dan konsekuensi perubahan iklim di gletser.
Tulisan monumen yang dibangun tahun 2019, berbunyi: “Ok adalah gletser Islandia pertama yang kehilangan statusnya sebagai gletser. Dalam 200 tahun ke depan, semua gletser kita diperkirakan akan mengikuti jalur yang sama”. Di bawah tulisan, “Surat untuk masa depan”, berbunyi: “Monumen ini untuk mengakui bahwa kita tahu apa yang terjadi dan apa yang perlu dilakukan. Hanya Anda yang tahu, jika kita melakukannya”.
Baca Juga: Walhi Nilai Pidato Jokowi Kontradiktif dengan Kenyataan, Ini Catatannya
Mitigasi Perubahan Iklim
Dwikorita mengingatkan pemerintah untuk segera melakukan langkah mitigasi secara komprehensif dan terukur, guna menekan laju perubahan iklim. Peningkatan suhu tersebut akan memicu terjadinya cuaca ekstrem dan anomali iklim yang semakin sering. Intensitasnya pun semakin kuat dengan durasi panjang. Kondisi tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Indonesia, baik bersifat materiil seperti infrastruktur, maupun korban jiwa.
Bencana hidrometeorologi di Indonesia semakin meningkat dan menjadi bencana dengan prosentase terbesar, yaitu 95 persen. Selama tahun 2021, bencana mencapai 5.402 kasus yang notabene merupakan dampak perubahan iklim global. Secara global, berdasarkan Laporan WMO tentang statistik bencana selama 50 tahun terakhir menunjukkan, lebih dari 11.000 bencana terkait dengan cuaca, iklim, dan bahaya terkait air antara tahun 1970 dan 2019, hampir sama dengan satu bencana per hari. Ada 2 juta kematian atau 115 per hari. Jumlah bencana telah meningkat lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir dan biaya ekonomi melonjak. Hal itu diperkirakan akan terus berlanjut.
Dwikorita menegaskan, pemerintah bersama semua elemen masyarakat harus bekerjasama dan gotong royong dalam melakukan aksi mitigasi. Hal itu mulai dari penghematan listrik, air, pengelolaan sampah, pengurangan energi fosil dan menggantinya dengan kendaraan listrik, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menanam pohon, restorasi mangrove, dan lain sebagainya.
Baca Juga: DPR Minta Solusi Polusi Udara Tidak untuk Jakarta Saja
Pemerintah bersama semua elemen masyarakat harus bekerjasama dan gotong royong dalam melakukan aksi mitigasi. Mulai dari penghematan listrik, air, pengelolaan sampah, pengurangan energi fosil dan menggantinya dengan kendaraan listrik, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menanam pohon, restorasi mangrove, dan lain sebagainya.
Dalam rangkaian peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) 2022, Presiden Joko Widodo juga telah menyampaikan sejumlah pesan. Pertama, perhatikan dengan serius informasi cuaca dan perubahan iklim yang diberikan BMKG dan instansi terkait lainnya. Kemudian formulasikan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan cepat serta siapkan penanganan yang lebih baik untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim.
Kedua, Jokowi meminta jajarannya mengembangkan sistem peringatan dini yang handal dengan menyediakan data dan informasi meteorologi, klimatologi dan geofisika secara cepat dan akurat yang dibutuhkan. Ketiga, Jokowi menekankan untuk melakukan sistem edukasi kebencanaan yang berkelanjutan.
Baca Juga: Fahmy Radhi: Polusi Udara Jakarta Ekstrem Perlu Kebijakan Ekstrem
Ia menginginkan jajarannya melakukan edukasi, literasi dan advokasi berkelanjutan. Manfaatkan AI, BIG DATA, teknologi high performance computing dan lakukan dengan inovasi, teknologi rekayasa sosial dan cara kreatif untuk membangun kesadaran, ketangguhan, partisipasi masyarakat. Kapasitas dan ketangguhan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus terus ditingkatkan agar masyarakat mampu merespons dengan cepat potensi risiko bencana.
Keempat, Presiden meminta perkuat kolaborasi lintas K/L, swasta, dan berbagai elemen bangsa lainnya dalam adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim.
Perubahan Iklim Ancam Ekonomi
Sementara Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa mengingatkan dampak perubahan iklim juga mengancam ekonomi di Indonesia.
Baca Juga: Gempa Ende Magnitudo 5,8 Dipicu Deformasi Batuan
“Diperkirakan dalam kurun 2020-2024 perubahan iklim akan menyebabkan kerugian ekonomi. Jadi diperlukan intervensi kebijakan,” tukas Suharso dalam Dialog Nasional “Antisipasi Dampak Perubahan Iklim Untuk Indonesia Emas 2045” yang diselenggarakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)” di Jakarta, 21 Agustus 2023.
Menurut Dwikorita, penti adanya penguatan sistem peringatan dini dan pengembangan sistem observasi yang lebih terstruktur guna menghadapi perubahan iklim. Data yang disajikan BMKG mengindikasikan kenaikan suhu global, termasuk bulan Juli 2023 yang mencatat suhu terpanas dalam sejarah. BMKG juga memaparkan bahwa Global Water Hotspots terjadi merata di berbagai negara. Sementara menurut FAO, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen stok pangan dunia menjadi kelompok yang rentan terhadap perubahan iklim.
Sejak 2011, BMKG telah aktif melakukan upaya berinteraksi dengan masyarakat di desa. Hasilnya, BMKG memperoleh pemahaman tentang kebutuhan masyarakat. Konsep ini juga terintegrasi dalam program Sekolah Lapang Iklim (SLI) yang sejak 2011 mendapat dukungan dari Bappenas.
Baca Juga: Corie Indria Prasasti: Solusi Polusi Udara Harus Ramah Lingkungan
Sekolah Lapang Iklim (SLI) adalah kegiatan literasi iklim untuk mendukung ketahanan pangan yang dilakukan BMKG bersama Kementerian Pertanian dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Kegiatan adaptasi ini dilaksanakan untuk meningkatkan pemahaman petani dan petugas penyuluh pertanian terhadap data dan informasi iklim yang dapat langsung diaplikasikan pada aktivitas pertanian.
Upaya meningkatkan ketepatan data dan analisis, menurut Dwikorita urgen apabila dalam poin penguatan sistem peringatan dini ditambahkan menjadi penguatan pengembangan sistem observasi secara sistematik.
“Jadi tidak langsung tiba-tiba peringatan dini, karena tanpa observasi yang sistematik dan kuat, kesimpulan-kesimpulannya itu bisa salah karena observasinya tidak tepat. Melalui pendekatan ini, kami dapat lebih awal mengantisipasi kemungkinan yang dikhawatirkan,” kata Dwikorita. [WLC02]
Discussion about this post