Wanaloka.com – Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi menyatakan narasi Indonesia Emas 2045 yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan 2023 bersamaan dengan pelaksanaan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) penuh paradoks, sangat parsial dan tidak memprediksi dampak krisis multidimensi yang terjadi. Pada saat yang sama, berbagai kebijakan yang dijalankan Jokowi selama memimpin tidak mengarah pada aksi adaptasi dan mitigasi dampak krisis iklim.
“Padahal pada 2045, Indonesia akan menghadapi situasi genting, puncak dari dampak buruk krisis iklim,” tegas Zenzi dalam siaran pers berjudul WALHI: Kontradiksi dalam Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi tertanggal 16 Agustus 2023.
Puncak dari dampak kririsi itu ditandai krisis air bersih, krisis pangan, banjir bandang dan longsor di mana-mana, cuaca dan panas ekstrim, kebakaran hutan dan lahan, tenggelamnya desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil.
Baca Juga: DPR Minta Solusi Polusi Udara Tidak untuk Jakarta Saja
Dalam pidato tersebut, Jokowi menyebut Indonesia memiliki peluang besar mencapai Indonesia Emas 2045 serta meraih posisi lima besar kekuatan ekonomi dunia. Sebab Indonesia memiliki dua hal. Pertama, bonus demografi yang akan mencapai puncak tahun 2030, di mana 68 persen dari penduduk merupakan usia produktif. Kedua, kepercayaan internasional yang dibuktikan dengan Presidensi Indonesia di G20 serta Keketuaan Indonesia di ASEAN.
Kontradiksi Hilirisasi Nikel
Pidato Presiden dinilai Walhi tidak menunjukkan kegelisahan atas kegentingan krisis di Indonesia. Agenda hilirisasi nikel adalah satu bentuk ketidakpedulian Presiden terhadap krisis ekologis dan krisis iklim yang terjadi. Fakta buruknya, kondisi lingkungan dan kehidupan rakyat akibat pertambangan sudah terbukti pada pembangunan industri nikel PT IMIP di Morowali, Sulawesi Tengah, tambang nikel di Pulau Obi, Maluku Utara dan wilayah lingkar tambang dan industri nikel lain di seluruh Indonesia.
Walhi mencatat hilirisasi nikel terbukti telah memporak porandakan bentang alam di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara, baik di darat maupun di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Sampai tahun 2022, konsesi lahan untuk tambang nikel di Indonesia mencapai 1.037.435,22 hektare. Dari jumlah itu, lahan seluas 765.237,07 hektare berada dalam kawasan hutan.
Baca Juga: Fahmy Radhi: Polusi Udara Jakarta Ekstrem Perlu Kebijakan Ekstrem
Agenda hilirisasi nikel juga mencemari laut dan menghancurkan pulau-pulau kecil, terutama sumber air bersih. Nestapa ini dialami warga desa-desa di Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, akibat pertambangan nikel. Sumber air, sungai, laut sampai air-air yang mengalir ke rumah-rumah warga pun keruh, berwarna oranye bercampur lumpur. Krisis air bersih terjadi selama hampir tiga pekan, pada Bulan Mei 2023.
Di Halmahera Timur, Maluku Utara, hilirisasi nikel telah memaksa lebih dari 5.000 nelayan tradisional berhenti melaut dan meninggalkan profesinya. Sebab terjadi akumulasi pencemaran laut dan hancurnya ekosistem pesisir-pulau kecil akibat pertambangan nikel.
Respon Jokowi sebelumnya tentang upaya mengatasi polusi udara dengan mendorong kendaraan listrik semakin menunjukkan kegagalan pemahaman Presiden tentang tingginya timbulan emisi dan ancaman kerusakan lingkungan yang dihasilkan hilirisasi nikel. Dimana nikel menjadi salah satu komponen pembuatan baterai kendaraan listrik.
Baca Juga: Gempa Ende Magnitudo 5,8 Dipicu Deformasi Batuan
Dari sejuta hektar lebih konsesi pertambangan nikel yang telah diberikan pemerintah, setidaknya 50 juta ton emisi setara CO2 akan dilepaskan ke atmosfer akibat perubahan tutupan lahan. Sementara dalam proses produksinya, jumlah emisi CO2 yang dihasilkan untuk memproduksi per ton nikel kelas 1 dari bijih laterit Indonesia diperkirakan mencapai 59 ton emisi setara CO2.
Selain itu, jaringan energi Indonesia yang masih sangat bergantung pada pada energi fosil, termasuk di kawasan-kawasan industri yang menjadi menjadi pusat utama pemrosesan nikel, diperkirakan menyumbang setidaknya 200 juta ton emisi.
“Hilirisasi nikel akan menghancurkan kemampuan adaptasi masyarakat dalam menghadapi krisis iklim pada masa mendatang. Dalam pidatonya, Jokowi menutup mata terhadap situasi yang dialami masyarakat di tapak. Pidato ini menunjukkan watak pembangunan-isme rezim Jokowi,” tegas Zenzi.
Baca Juga: Corie Indria Prasasti: Solusi Polusi Udara Harus Ramah Lingkungan
Kontradiksi Perlindungan HAM
Di dalam pidatonya, Jokowi mengklaim konsistensi Indonesia dalam menjunjung HAM, kemanusiaan, dan kesetaraan, serta kesuksesan Indonesia menghadapi krisis dunia tiga tahun terakhir telah mendongkrak dan menempatkan Indonesia kembali dalam peta percaturan dunia.
Discussion about this post