Wanaloka.com – Salju abadi di Puncak Jaya atau Puncak Jayawijaya, Pegunungan Cartenz terletak di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua terus mengalami pencairan sehingga terancam punah. Fenomena tersebut diduga kuat terjadi karena berkaitan dengan pemanasan global dan perubahan iklim yang sedang terjadi di seluruh dunia.
“Dalam beberapa dekade terakhir dilaporkan terjadi penurunan drastis luas area salju abadi di Puncak Jaya,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam seminar ilmiah bertajuk “Salju Abadi Menjelang Kepunahan: Dampak Perubahan Iklim?” di Auditorium Kantor Pusat BMKG, Kemayoran, Jakarta, Selasa, 22 Agustus 2023.
Berdasarkan hasil riset analisis paleoklimat terhadap inti es yang dilakukan BMKG bersama Ohio State University, Amerika Serikat mencatat, bahwa pencairan gletser di Puncak Jaya terjadi setiap tahun. Saat riset dimulai pada 2010, ketebalan es masih mencapai 32 meter. Seiring perubahan iklim yang terjadi di dunia, hingga tahun 2015, laju penurunan ketebalan es mencapai satu meter per tahun.
Baca Juga: Menebar Garam hingga Kapur Tohor, Praktik TMC Kurangi Polusi Udara
Kondisi kian buruk tatkala pada 2015-2016, Indonesia dilanda fenomena El Nino kuat dimana suhu permukaan menjadi lebih hangat. Akibatnya, gletser di Puncak Jaya mencair hingga lima meter per tahun.
Sedangkan, pada 2015-2022, laju penurunan es terus terjadi dan seakan tidak terhenti. Catatan BMKG memperlihatkan pada periode tersebut, ketebalan es mencair sebanyak 2,5 meter per tahun. Diperkirakan ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 hanya 6 meter.
Sementara itu, tutupan es pada 2022 berada pada angka 0,23 kilometer persegi atau turun sekitar 15 persen dari luasan pada Juli tahun 2021, yaitu 0,27 km2.
Baca Juga: Ini Pemicu Gempa di Kepulauan Selayar 5,3 Magnitudo
“Fenomena El Nino tahun 2023 ini berpotensi untuk mempercepat kepunahan tutupan es Puncak Jaya,” ungkap Dwikorita.
Kepunahan salju abadi di Puncak Jaya memiliki dampak besar bagi berbagai aspek kehidupan di wilayah tersebut. Ekosistem yang ada di sekitar salju abadi menjadi rentan dan terancam. Dampak lain dari mencairnya es di Puncak Jaya adalah ada kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global.
Dwikorita mengingatkan penting bagi seluruh pihak untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga lingkungan. Upaya mitigasi perubahan iklim sudah sepatutnya menjadi fokus dari seluruh aksi yang dilakukan.
Baca Juga: Siti dan Sudin Belajar Memanjat dan Membangun Sarang di Sekolah Hutan
“Caranya dengan melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca dan membangun energi terbarukan. Poin ini menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan perubahan ikim,” kata Dwikorita.
Mitigasi tersebut tidak bisa dikerjakan hanya segelintir orang. Dibutuhkan kemauan dan kesadaran seluruh pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk saling bergandeng tangan melakukan aksi-aksi nyata melakukan mitigasi perubahan iklim yang terjadi di dunia, khususnya di Indonesia. Serta memperkuat kerjasama lintas sektor untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat di wilayah Indonesia.
Salju abadi di Puncak Jaya, Papua yang mencair merupakan bukti nyata perubahan iklim memberikan dampak yang tidak baik bagi kehidupan. Keberadaan salju abadi yang menjadi kebanggaan Indonesia itu kini terancam punah beberapa tahun ke depan. Sebuah kehilangan yang sangat signifikan bagi bangsa Indonesia.
Baca Juga: Sesar Dasar Laut Sumber Gempa Pacitan 5,0 Magnitudo
Diperkirakan Punah 2025
Peringatan ancaman kepunahan salju di puncak Jaya juga sudah disampaikan Dwikorita pada 2022. Dalam keterangan tertulisnya yang dimuat di laman Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM, ia menyampaikan, salju di Puncak Jaya diperkirakan hilang sepenuhnya pada 2025. Kehilangan itu kian cepat terjadi apabila kenaikan suhu di seluruh pulau utama di Indonesia dapat mencapai 4 derajat Celcius pada 2100 alias empat kali dibandingkan zaman praindustri.
Pegunungan Jayawijaya mempunyai ketinggian 4285 Mdpl. Selain menjadi puncak tertinggi di Nusantara, juga merupakan salah satu Seven Summits, yaitu istilah untuk tujuh puncak gunung tertinggi yang terdapat di setiap benua atau wilayah.
Keberadaan gletser di negara tropis yang terletak di sekitar garis khatulistiwa adalah kekayaan geografi yang luar biasa. Berdasarkan siaran pers Universitas Negeri Penn, endapan glasial yang terbentuk di daerah tropis selama episode bumi bola salju (snowball Earth episodes) sekitar 600 juta tahun lalu menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana gletser meninggalkan endapan itu terbentuk. Dan ahli geosains, Penn State percaya bahwa gletser hanya bisa terbentuk setelah lautan Bumi sepenuhnya tertutup oleh es laut yang tebal.
Baca Juga: Ini Tujuh Langkah Penanganan Polusi Udara di Jabodetabek
Gletser tropis di negara khatulistiwa lainnya, seperti di sekitar Pegunungan Andes (Ekuador dan Kolombia) serta Pegunungan Kilimanjaro (Tanzania, Uganda, dan Kenya) serta Dataran Tinggi Tibet dan Himalaya di Asia Tengah dan Selatan menunjukan kecenderungan sama. Bahwa semua es yang berada di daerah tropis mengalami tekanan yang sama, yaitu semakin berkurang dan terancam menghilang.
Kehilangan Gletser seperti yang terjadi di Puncak Cartenzs adalah bukti nyata dari dampak perubahan iklim. Gletser di daerah tropis merespon perubahan iklim lebih cepat daripada daerah lainnya. Sebab secara geografis berada di daerah terhangat di dunia, dimana hanya dapat bertahan hidup di ketinggian tertinggi yang sangat dingin dari iklim sekitarnya.
Menurut petualang dan konservasionis Australia Tim Jarvis yang melakukan ekspedisi Gletser di Puncak Tropis Dunia, ada banyak salju dan es di wilayah kutub untuk memahami skala perubahan iklim, dimana es mencair sangat cepat di sana. Namun di khatulistiwa, perubahannya kontras. Ada catatan sejarah yang sangat bagus untuk melakukan sebelum dan sesudah kontras terjadi, dimana salju abadi di negara tropis akan menjadi hilang sepenuhnya. Menurut Jarvis, peristiwa hilangnya salju abadi di kawasan tropis sangat ideal sebagai alat untuk menyampaikan pesan tentang dampak perubahan iklim kepada seluruh masyarakat.
Baca Juga: Dwikorita: Yang Ditakutkan Penduduk Bumi adalah Perubahan Iklim dan Dampaknya
Discussion about this post