“Ada lebih dari 1 juta hektare industri ekstraktif di kawasan konservasi. Selain itu, ada juga 20,5 juta hektar industri ekstraktif berada dalam area ekosistem penting seperti koridor satwa, taman kehati, dan area biodiversitas penting,” tambah Ogy.
Baca Juga: BMKG Sebut Gempa Pangandaran Dipicu Deformasi Batuan Dalam
Keanekaragaman hayati laut Indonesia juga perlu dilindungi segera. Saat ini, jutaan hektare wilayah laut Indonesia dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat pesisir. Hal ini berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan pencapaian (Indonesia Biodiversity Strategic Action Plan (IBSAP), khususnya dalam upaya melindungi 30 persen area laut Indonesia.
“Dalam agenda Keanekaragaman Hayati Laut dan Pesisir serta Pulau-Pulau, Indonesia perlu mendukung teks yang memastikan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, akses terhadap keadilan dan informasi, serta perlindungan bagi pembela hak asasi manusia dan lingkungan, masyarakat adat, dan komunitas lokal, dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia,” jelas Rayhan Dudayev dari Greenpeace.
Selain itu, menurut dia sangat strategis apabila Indonesia mendukung Annex 2(g) untuk meningkatkan pemahaman tentang dampak pengasaman laut dan tekanan lainnya terhadap ekosistem pulau, yang sangat relevan bagi Indonesia sebagai salah satu negara maritim terbesar di dunia.
Baca Juga: AMAN Desak Pemerintahan Prabowo Sahkan RUU Masyarakat Adat dalam 100 Hari Pertama
Dukung pendanaan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal
Masyarakat adat dipercaya sebagai salah satu kekuatan dunia yang berperan penting menahan perubahan iklim dan punahnya keanekaragaman hayati. Namun, mekanisme keuangan yang ada saat ini belum memadai sehingga masyarakat adat yang melindungi keanekaragaman hayati tidak memiliki sumber daya yang memadai.
Oleh karenanya, organisasi masyarakat sipil Indonesia menyerukan dibentuknya mekanisme pendanaan langsung untuk menyalurkan dukungan kepada masyarakat adat, nelayan skala kecil, petani, dan masyarakat lokal, tanpa bergantung pada solusi berbasis pasar yang berisiko seperti kredit dan offset keanekaragaman hayati.
“Kita memerlukan sistem pendanaan yang transparan dan akuntabel, yang dapat diakses langsung oleh Masyarakat Adat untuk melanjutkan pekerjaan konservasi penting kami,” kata Eustobio Rero Renggi, juru bicara dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang juga hadir pada COP 16 CBD tersebut.
Baca Juga: Aruki Nilai Agenda dan Pidato Kenegaraan Prabowo Gagal Atasi Krisis Iklim
Sayangnya, delegasi pemerintah Indonesia dalam COP 16 CBD tidak menghendaki ada pendanaan langsung yang dapat diakses oleh masyarakat adat dan komunitas lokal. Pada COP 16 CBD waktu setempat, delegasi pemerintah Indonesia menyampaikan pernyataan yang mendukung pemerintah India terkait tidak diperlukannya “pendanaan langsung” bagi masyarakat adat.
Selain itu, delegasi pemerintah Indonesia juga bersepakat dengan pernyataan pemerintah Brazil, bahwa dukungan pendanaan langsung tersebut harus bisa masuk melalui otoritas nasional (pemerintah), sehingga perlu disesuaikan dengan kebutuhan (kepentingan) nasional.
Eustobio menyesalkan sikap delegasi pemerintah Indonesia dan mendesak pemerintah Indonesia untuk menarik pernyataan tersebut.
Baca Juga: Pelantikan Presiden Baru, 32 Desa di Murung Raya Terendam Banjir Dua Meter
“Kami atas nama masyarakat adat menyesalkan sikap dan pernyataan delegasi pemerintah Indonesia yang telah mengabaikan hak-hak konstitusional kami sebagai penyandang hak utama yang telah menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati secara turun temurun, jauh sebelum adanya negara,” seru Eustobio.
Lebih lanjut, Eustobio menyarankan kepada delegasi pemerintah Indonesia untuk menyepakati usulan dari mayoritas negara-negara yang menghendaki adanya pendanaan langsung tersebut. Mayoritas negara itu seperti Meksiko, Namibia, Swiss, bahkan Uni Eropa, dan yang lain.
“Seharusnya, pemerintah Indonesia bisa mengambil contoh yang baik untuk mendukung komitmen kepada masyarakat adat seperti yang terjadi di negara-negara lain, apalagi 60 persen populasi masyarakat adat terbesar ada di Asia. Salah satunya Indonesia,” imbuh Eustobio. [WLC02]
Sumber: SIEJ
Discussion about this post