Sementara dalam perkara HTN, Herlambang P. Wiratraman menganggap Majelis Hakim PTUN dan Majelis Kasasi keliru menerapkan asas lex specialis derogate legi generali dan lex superior derogate legi inferiori. Dalam kasus gugatan TUN terkait penambangan andesit di Wadas, jelas bahwa antara UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, merupakan produk hukum yang berbeda secara hirarkis. Artinya, penerapan penyelesaian dengan pemaknaan mencari asas secara kekhususan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah hirarkinya jelas keliru penerapannya dalam penggunaan asas hukumnya.
Baca Juga: Obituari Widodo: Petani Melawan Penambangan Pasir Besi dengan Menanam
“Ini preseden buruk dunia peradilan. Menafsirkan hal sederhana dan mendasar saja keliru,” kata Herlambang.
Dian Rosita dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera menyoroti peran MA dalam menjalankan mekanisme constitutional complain. Putusan PTUN Semarang seharusnya membuat MA tidak hanya mengadili fakta hukum atas kebijakan pejabat TUN saja. MA dapat lebih aktif menguji aturan hukum yang menjadi dasar Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan pembaharuan SK IPL Bendungan Bener. Dalam perkara ini, majelis kasasi seharusnya mencermati putusan tingkat pertama yang telah mengangkat persoalan hukum Pasal 123B ayat (4) Perpres Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang dinilai bertentangan dengan Pasal 25 UU Nomor 2 Tahun 2012.
“Dan melakukan koreksi dengan menyatakan perpres bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Seharusnya dinyatakan tidak sah, sehingga tidak dapat digunakan untuk menguji keabsahan obyek sengketa,” papar Dian.
Baca Juga: Targetkan Emisi Nol Karbon, PLTA Poso Diduga Pertaruhkan Keselamatan Warga dan Lingkungan
Perspektif Hukum Agraria: Keliru Menggunakan Dasar Hukum
Dari sisi hukum agraria, Rikardo menilai ada kekeliruan yang mendasar dari majelis hakim dalam menggunakan dasar hukum yang membenarkan pembaharuan SK IPL. Majelis menggunakan Perpres Nomor 30 Tahun 2015 dan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 sebagai acuan untuk menyimpulkan, bahwa pembaharuan SKP IPL tidak cacat prosedur dan substansi.
“Dua prepres ini tidak dapat dijadikan acuan,” kata Rikardo.
Ada dua alasan yang melatarbelakangi. Pertama, Perpres 30 diperuntukan bagi kegiatan pengadaan tanah yang sudah dimulai sebelum 2012 dan masih menggunakan Perpres Nomor 30 Tahun 2006. Sementara pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Bener dimulai sejak 2018. Kedua, Perpres 58 bertentangan dengan UU Nomor 12/2012 yang tidak mengenal pembaharuan SK Penlok. UU Ciptaker dan PP 19/2021 sebagai peraturan pelaksanaannya tidak mengenal istilah pembaharuan untuk SK Penlok.
Baca Juga: YLBHI: Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik Agraria dan Lingkungan Belum Dianggap Krusial
Sementara Widodo Dwi Putro dari FH Universitas Mataram menyoroti masalah proyek strategis nasional (PSN) yang selalu diandaikan sebagai pembangunan demi kepentingan umum. Sedangkan konsep kepentingan umum itu sendiri tidak jelas, baik dalam aturannya maupun dalam praktiknya. Ia melihat bahwa PSN yang mengandaikan kepentingan umum seringkali hanya mengorbankan kepentingan umum demi kepentingan segelintir orang. Ia mencontohkan pembangunan Sirkuit Mandalika sebagai PSN.
“Apa hubungan pembangunan sirkuit dengan kepentingan umum? Jelas ini bukan kepentingan umum. Kepentingan umum seringkali menjadi sesajen bagi kepentingan segelintir orang,” tegas Widodo.
Perspektif Hukum Lingkungan: Tidak Pertimbangkan Dampak Penambangan
Sesi terakhir menyoroti masalah keadilan lingkungan yang kurang dipertimbangkan dalam putusan majelis hakim. Beni Setianto melihat majelis hakim hanya mempertimbangkan keadilan prosedural, dimana keadilan prosedural yang ingin dicapai masih jauh dari rasa keadilan. Alih-alih mempertimbangan keadilan subtantif, khususnya keadilan lingkungan bagi keberlangsungan dan keberlanjutan ruang hidup masyarakat di desa Wadas.
Baca Juga: Macan Tutul Rasi dan Slamet Ramadhan Diharapkan Berkembangbiak di Gunung Ciremai
Pengajar Hukum Lingkungan FH UGM, Totok Dwi Diantoro melihat majelis hakim tidak benar-benar menerapkan prinsip keadilan karena mengabaikan proses dan dampak dari pertambangan batuan andesit di Wadas. Pertimbangan keadilan dalam proses pembentukan kebijakan seharusnya memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat dalam menyampaikan keluhannya. Tapi majelis tidak mempertimbangkan partisipasi masyarakat sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan. Majelis juga tidak mempertimbangkan dampak penambangan batuan andesit bagi kesejahteraan dan peningkatan tarah hidup masyarakat.
“Penambangan batuan andesit justru akan meningkatkan risiko bencana bagi warga Wadas. Karena melemahnya daya dukung dan daya tampung lingkungan di sekitarnya,” kata Totok.
Tim eksaminasi juga menemukan ada hal yang mengejutkan dalam putusan Majelis Hakim PTUN Semarang. Pada pertimbangan putusan, majelis menganggap amicus curiae (sahabat peradilan) dan keterangan para ahli dari disiplin ilmu lain yang menyoroti masalah keadilan gender dan keadilan sosial tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam putusan. Dalam pertimbangan disebutkan, pandangan disiplin ilmu lain itu lebih tepat untuk kajian teoritis akademis dan praktis, bukan untuk dipertimbangkan dalam putusan.
Baca Juga: BRIN dan BMKG Rancang Regenerasi Sistem Peringatan Dini Tsunami
“Ini memperlihatkan reformasi pengadilan yang ingin meningkatkan profesionalitas hakim terkesan sia-sia. Pandangan ini juga diambil alih majelis kasasi MA. Ini kemunduran dalam mengembangkan nalar berfikir hukum yang baik. Tentu sangat menyesatkan dalam mengambil putusan yang dampaknya akan sangat luas secara sosial ekonomi di masyarakat,” papar Rikardo.
Acara eksaminasi merupakan kerja kolaboratif dari beberapa lembaga seperti Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Asosiasi studi sosio-legal Indonesia (Asslesi), Pukat UGM, Constitutional and Administrative Law Society (CALS). Eksaminasi putusan ini menuju tahap akhir untuk mengambil putusan secara bersama. [WLC02]
Discussion about this post