Wanaloka.com – Bertepatan peringatan Hari Laut Sedunia 2024, masyarakat pesisir Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 33 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023.
Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN), Amin Abdullah menegaskan kedua regulasi tersebut akan semakin menghancurkan kelestarian ekosistem laut sekaligus kehidupan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil, khususnya di Nusa Tenggara Barat. Ia merujuk pada praktik penambangan pasir laut di perairan Lombok Timur untuk melayani kepentingan reklamasi di Teluk Benoa Bali beberapa tahun lalu.
“Meskipun penambangan pasir laut telah dihentikan, dampaknya masih terasa sampai sekarang,” kata Amin yang juga nelayan tradisional di Lombok Timur.
Baca Juga: Maikel Primus, Lestarikan Lingkungan Hidup di Papua yang Berkelanjutan
Tolak Penambangan Pasir Laut
Nelayan yang berada di sejumlah desa di Lombok Timur, seperti Desa Pringgabaya, dan Labuhan Haji harus melaut ke Perairan Sumba, Nusa Tenggara Timur, khususnya ke Perairan Pulau Salura. Butuh waktu 20 hari sepanjang enam bulan ke Salura, dihitung sejak Mei sampai Oktober setiap tahunnya.
Kehancuran laut akibat tambang pasir laut diperparah dampak krisis iklim.
“Situasi ini semakin memperburuk kehidupan nelayan di Indonesia yang dikurangi perlindungan dari Pemerintah,” ucap dia.
Kedua aturan itu, menurut Amin merupakan kebijakan yang bertentangan dengan upaya-upaya pemulihan dan perlindungan kawasan pesisir dan laut yang selama ini telah dilakukan masyarakat pesisir di tingkat tapak.
Baca Juga: Gempa Dangkal Guncang Jayapura, Lindu Dalam Goyang Kepulauan Selayar
“Jika pemerintah ingin melindungi pesisir dan laut, kebijakan yang harus didorong bukanlah penambangan pasir laut, melainkan kebijakan yang memulihkan tiga ekosistem penting, yaitu ekosistem mangrove, padang lamut, dan terumbu karang. Sekaligus menempatkan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, sebagai pilar utama,” imbuh Amin.
Nelayan tangkap Tambakrejo, Kota Semarang, Marzuki pun mengungkapkan, dia bersama ratusan nelayan di Semarang dan Pantai Utara Jawa terancam pertambangan pasir laut yang dijustifikasi kedua aturan itu. Meski wilayah penambangan pasir laut berada di perairan Demak dengan luas 574.384.627,45 meter persegi dan volume sebanyak 1.723.153.882,35 meter kubik, tetapi dampak ekologisnya terasa di seluruh Pantai Utara Jawa, khususnya di Kota Semarang.
Ia mendesak Pemerintah Pusat untuk segera mencabut kedua peraturan tersebut karena hanya akan mengancurkan laut. Nantinya juga berdampak pada ruang hidup ribuan nelayan di Pantai Utara Jawa.
Baca Juga: Aktivitas 7 Gunung Api Meningkat, Badan Geologi Pastikan Tak Saling Berhubungan
“Saya khawatir pertambangan pasir laut akan mengakhiri nasib kami di Tambakrejo yang selama ini telah kesulitan menangkap ikan. Semakin terpinggirkan akibat masifnya pipa-pipa industri di tengah wilayah penangkapan nelayan dan menganggu aktivitas nelayan. Saat ini kami sudah hampir kehabisan akal,” ungkap Marzuki.
Selain ancaman pertambangan pasir laut dan masifnya pipa industri, nelayan Tambakrejo semakin terancam krisis iklim yang bisa menenggelamkan wilayahnya karena menaikkan permukaan air laut.
“Tambang pasir laut akan mempercepat tempat kami tenggelam. Seperti yang telah terjadi di banyak desa di Pantai Utara Jawa, khususnya Demak,” ucap dia.
Menurut Marzuki, tak ada acara lain menyelamatkan laut selain mencabut PP 26 Tahun 2023 dan Permen KP 33 Tahun 2023 yang melegalkan tambang pasir laut.
Baca Juga: Delapan Alasan Walhi Menolak Konsesi Tambang untuk Ormas Keagamaan
Tolak Ekonomi Biru
Masyarakat pesisir Indonesia, khususnya nelayan, juga menolak blue economy (ekonomi biru) yang didengungkan Pemerintah Indonesia .
Nelayan Pulau Pari, Kepulausan Seribu, Jakarta, Mustagfirin menyebutkan bahwa di tengah gegap gempita narasi ekonomi biru yang dikampanyekan Pemerintah, dia dan ratusan keluarga di sana masih terancam perusahaan pariwisata yang ingin menguasai seluruh lahan pulau itu.
“Saya pernah dipenjara tujuh bulan karena dikriminalisasi perusahaan pariwisata yang ingin menguasai Pulau Pari. Saya harus melawan dan memperjuangkan hak saya,” tutur laki-laki yang akrab disapa Bobi itu.
Bahkan saat pemerintah memperbesar narasi ekonomi biru, Pulau Pari terus terancam krisis iklim yang menggerus luas pulau sebanyak 11 persen dari sebelumnya. Banyak perekonomian warga hancur akibat banjir rob yang terus menerjang pulau.
Baca Juga: Komisi IV DPR Soroti Bencana Akibat Pertambangan, Pemerintah Gas Pol
“Saya kehilangan tangkapan lebih dari 70 persen, teman-teman saya mengalami kehancuran budidaya perikanan dan budidaya rumput laut. Air tanah kami untuk minum semakin asin akibat intrusi air laut. Sebanyak enam pulau kecil di Kepulauan Seribu tenggelam. Masa depan anak-anak kami terancam,” papar dia.
Anehnya, tambah Bobi, pemerintah tidak melakukan apa-apa. Akhirnya, empat warga Pulau Pari mengambil inisiatif untuk menggugat Holcim, perusahaan semen terbesar di dunia yang bermarkas di Swiss. Sampai saat ini, empat orang Pulau Pari terus berjuang untuk mencapai keadilan iklim di Pengadilan Zug, Swiss.
“Kami semakin aneh ketika pemerintah Indonesia tidak memberikan dukungan apapun terhadap upaya kami melawan Holcim. Seharusnya pemerintah malu karena terus mempromosikan ekonomi biru, tetapi tidak mendukung perlawanan terhadap Holcim yang merupakan pencemar planet bumi,” imbuh dia.
Baca Juga: Jatam Desak Ormas Keagamaan Tolak Obral Konsesi Tambang dari Pemerintah
Discussion about this post