Wanaloka.com – Berasarkan Data Kementerian Kesehatan dalam Laporan Situasi Penyakit Potensi KLB/Wabah di wilayah Aceh pascabencana ekologis, sedikitnya ada 21.079 kasus dari sembilan jenis penyakit merebak pascabencana ekologis. Dari jumlah tersebut, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) mencapai jumlah 9.731 kasus per Jumat, 19 Desember 2025.
Dokter spesialis paru di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sekaligus dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Ika Trisnawati menjelaskan, penyakit menular kerap menjadi persoalan utama pascabencana. Terutama ketika kondisi lingkungan tidak mendukung kebersihan dan sanitasi.
“Kalau pascabencana itu yang menjadi problem kesehatan adalah penyakit menular. Lingkungan yang kotor dan sanitasi yang buruk menjadi media yang sangat baik bagi kuman untuk berkembang,” jelas Ika, Rabu, 24 Desember 2025.
Baca juga: Siklon Tropis Saat Libur Nataru, Waspada Potensi Hujan Lebat
Pengendalian penyakit di wilayah terdampak bencana jauh lebih sulit dibandingkan daerah normal karena keterbatasan akses air bersih, fasilitas sanitasi, dan tempat tinggal yang layak. Sehingga ISPA kerap muncul menjadi penyakit dominan setelah banjir.
Terdapat beberapa kelompok yang paling rentan terinfeksi ISPA. Kelompok tersebut antara lain anak-anak balita dan lansia. Pada anak-anak, sistem imunitasnya masih dalam masa perkembangan sehingga belum matang. Sedangkan pada usia lanjut, sistem imun mengalami penurunan seiring bertambahnya usia.
Selain faktor usia, kelompok dengan penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, ginjal, dan kanker juga memiliki risiko lebih tinggi. Tak kalah penting, Ika menyoroti kelompok perokok, yang kondisi paru-parunya lebih rentan mengalami perburukan saat terinfeksi ISPA karena sudah tidak optimal.
Baca juga: UGM dan IPB Siapkan Langkah Penanggulangan Dampak Bencana Sumatra
Dalam situasi keterbatasan pascabencana, ia menekankan pentingnya langkah proteksi diri bagi para korban. Evakuasi ke tempat yang lebih aman dan bersih menjadi langkah paling awal dan krusial, terutama bagi kelompok rentan.
Ia juga mengingatkan pentingnya alat pelindung diri seperti masker maupun alas kaki tertutup. Luka terbuka juga perlu diperhatikan untuk menghindari kontak dengan air atau lumpur yang terkontaminasi.
Gejala ISPA umumnya muncul pascabanjir, bukan saat kejadian berlangsung. Sebab lumpur dan partikel kering angin memudahkan virus bakteri masuk ke saluran pernapasan. Terkait dengan pengobatan, ia menegaskan penyakit ini disebabkan virus dan iritasi sehingga tidak semua membutuhkan antibiotik. Istirahat cukup, minum air banyak, nutrisi baik, dan vitamin cukup.
“Perlu hati-hati ya, antibiotik hanya diberikan jika ada komplikasi bakteri dan harus dengan resep dokter,” tegas dia.
Baca juga: Empat Orangutan Dipulangkan ke Indonesia di Tengah Perusakan Hutan Sumatra
Sementara peran pemerintah dan relawan dinilai sangat penting untuk mencegah meluasnya wabah penyakit pascabencana. Upaya yang perlu dilakukan meliputi penyediaan tempat pengungsian yang layak, air bersih, makanan bergizi, alat pelindung diri, serta pendirian pos kesehatan darurat.
“Deteksi dini dan penanganan cepat sangat penting agar penyakit tidak berkembang menjadi wabah,” ujar dia.
Ika juga menyampaikan pesan kepada masyarakat di wilayah terdampak bencana agar tetap menjaga kebersihan dan saling melindungi, meski dalam kondisi serba terbatas. Tetap berupaya menjaga kesehatan dan kebersihan, saling menjaga terutama kelompok rentan.
“Dan tentu saja, selalu ada harapan setelah cobaan. Tetap tawakal,” kata dia.
Baca juga: Hasil Permodelan Kecerdasan Buatan, Iklim 2026 Bersifat Normal
Penyakit kulit mengintai pengungsi
Salah satu risiko penyakit yang meningkat di pengungsian adalah kasus penyakit kulit. Kondisi lingkungan yang lembap, kurang higienis, dan padat penghuni membuat para pengungsi rentan mengalami berbagai infeksi kulit.






Discussion about this post